Selasa, 15 Maret 2016

PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN

Berani menerima tantangan untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen? hehehe...Mari kita lihat pembahasannya dan seberapa menantangnya mengemban amanah menjadi seorang Pejabat Pembuat Komitmen alias PPK. Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PPK adalah sosok sentral. Dialah yang berperan besar dalam menentukan berhasil/tidaknya proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada postingan pihak-pihak dalam PBJ, PPK berperan dalam menyusun perencanaan lebih detail berdasarkan RUP dan mengawasi pelaksanaan kontrak. Nah sebelum kita bahas lebih detail tentang peran PPK dalam PBJ, mari kita bahas terlebih dulu tentang apa dan bagaimana syarat untuk menjadi PPK.

Apa itu PPK? 
Menurut Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya, PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Sementara itu menurut Peraturan Menteri Keuangan No.113 tahun 2012 tentang Perjalanan Dinas bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak tetap, PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. Definisi yang kedua ini tentu saja dalam konteks pengelolaan APBN.

Dari definisi tersebut, ada dua peran yang disandang oleh PPK, khususnya dalam PBJ. Yang pertama adalah merencanakan PBJ secara lebih detail berdasarkan RUP yang ditetapkan oleh PA/KPA. Yang kedua adalah mengawasi jalannya kontrak di mana di dalamnya terdapat otorisasi pencairan dana APBN dan/atau APBD. Dengan demikian PPK mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap cairnya APBN/APBD atau dengan kata lain, tanda tangan PPK itu sangat berharga, karena sebagai sebab timbulnya pencairan dana APBN/APBD.



Dulu, ada seorang teman bilang pada saya, "Wah jadi PPK tuh berat bro...sebelah kakimu ada di penjara tuh". Saya hanya tersenyum, entah senyum kecut atau senyum pahit saat itu. Sambil dalam hati berkata, jika sebelah kaki ini dipenjara, tapi jika menyebabkan saya masuk surga nggak apa-apa deh. Memang saya pernah merasakan betapa besar tanggung jawab PPK apalagi dengan kondisi sekarang ini dimana persepsi tentang PBJ antara pelaksana PBJ dengan aparat pengawas dan penegak hukum perlu lebih diselaraskan. Plus ditambah cerita-cerita menarik nan menantang dari rekan-rekan yang sama-sama menjadi pelaksana PBJ khususnya PPK.

Persyaratan menjadi PPK
Nah mengingat, amanah yang lumayan besar, kira-kira persyaratan apa yang diperlukan untuk menjadi seorang PPK. Terdapat beberapa persyaratan untuk bisa diangkat mnejadi seorang PPK yaitu:
  1. Memiliki integritas dan disiplin tinggi. Ini adalah syarat yang bersifat umum dan saya rasa untuk menjadi seorang leader dalam suatu organisasi syarat-syarat ini diperlukan apalagi terkait dengan pengelolaan keuangan negara.
  2. Memiliki tanggung jawab, kualifikasi teknis, dan manajerial untuk melaksanakan tugas. Kemampuan manajerial dalam hal ini adalah: (a) Berpendidikan paling kurang Strata I, dan jika tidak ada dapat diganti minimal golongan III a atau yang disetarakan, (b) Memiliki pengalaman minimal 2 tahun terlibat aktif dalam PBJ, dan (c) memiliki kemampuan kerja kelompok dalam melaksanakan pekerjaan. 
  3. Mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap dan perilaku serta tidak pernah terlibat KKN
  4. Menandatangani pakta integritas
  5. Tidak menjabat sebagai Pejabat Penandatangan SPM atau Bendahara
  6. Memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa. Khusus untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK maka tidak wajib memiliki sertifikat keahlian.
Syarat-syarat tersebut bisa dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu syarat-syarat yang bersifat formal, seperti menandatangani pakta integritas, tidak merangkap sebagai pejabat penandatangan SPM atau bendahara, minimal S1 dan seterusnya. Selain itu ada syarat yang sifatnya substansial yang mengarah ke kompetensi dari PPK itu sendiri. Bagaimana PPK memahami tugasnya dengan baik, mampu mengelola pekerjaan dengan baik, dan poin pentingnya adalah bagaimana manajemen risiko dari seorang PPK. Manajemen risiko sangat penting, karena setiap keputusan yang diambil oleh PPK pasti ada risikonya. Sehingga sebelum pengambilan keputusan, harus diperhitungkan risiko yang timbul dan bagaimana mengantisipasinya.

Nah yang menarik adalah, bagaimana jika PPK tidak bersertifikat keahlian tapi tetap menjadi PPK? apakah bisa? Lalu jika PPK tandatangan tapi belum bersertifikasi gimana donk...apakah uang yang cair tidak sah...lalu apakah itu berarti kerugian negara?....Ini bisa panjang pembahasannya.

Kalau saya mengibaratkan, PPK yang tidak bersertifikasi itu seperti pengendara atau sopir yang tidak mempunyai SIM. Tidak punya SIM jelas itu adalah pelanggaran dan konsekwensinya ditilang. Nah jika sopir, tidak punya SIM kemudian nyetirnya ugal-ugalan dan mengakibatkan korban jiwa misalnya, nah  berarti dia mesti ditindak tidak hanya karena tidak mempunyai SIM, tapi juga karena ulahnya yang menyebabkan korban jiwa. Nah jika PPK tanpa sertifikat keahlian tetap menajdi PPK itu namanya "Pejabat Penuh Kenekatan". Yang jelas secara administrasi dia salah, termasuk PA/KPA yang mengangkatnya dan ini masuk ranah hukum administrasi negara. Nah jika PPK yang nekat tadi saat bekerja entah karena kelalaian atau bahkan karena kesengajaan menyebabkan kerugian negara, maka ini bisa terkena hukuman juga sesuai dengan jenis kesalahannya. Bagiamanapun juga risiko pelanggaran akan cukup besar jika PPK tidak mempunyai kompetensi dan memiliki sertifikat keahlian adalah bukti bahwa PPK tersebut kompeten.
 
Tugas dan Wewenang PPK     
 
Dari gambar di atas sebenarnya sudah bisa dipetakan apa saja tugas dan wewenang dari PPK. Namun, secara lebih detail dapat dijabarkan sebagai berikut.
  1. Menetapkan Rencana Pelaksanaan Pengadaan yang terdiri dari: (a) Spesifikasi Teknis, (b) Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan (c) Rancangan Kontrak.
  2. Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ). Dokumen ini sebagai tanda bahwa PPK setuju dengan hasil pemilihan penyedia yang dilakukan oleh ULP
  3. Menyetujui Bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat Perintah Kerja (SPK)/Surat Perjanjian
  4. Melaksanakan Kontrak dengan penyedia barang/jasa dan mengendalikan pelaksanaan kontrak
  5. Melaporkan pelaksanaan/pemyelesaian kegiatan PBJ kepada PA/KPA
  6. Menyerahkan hasil pekerjaan PBJ kepada PA/KPA
  7. Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekeerjaan pada PA/KPA tiap triwulan
  8. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan PBJ
  9. Mengusulkan kepada PA/KPA untuk mengubah paket pekerjaan atau perubahan jadwal kegiatan (dalam bentuk kaji ulang RUP).
  10. Menetapkan tim pendukung, tim/tenaga ahli untuk membantu ULP saat penjelasan teknis, dan
  11. Menetapkan besaran uang muka.
Dari tugas yang cukup banyak tadi sebenarnya bermuara pada definisi yang disebutkan di atas dan gambarnya. Yang jelas PPK bukan hanya sekedar Pejabat Penandatangan Kuitansi/Pejabat Penandatangan Kontrak. PPK tanda tangan, tapi tidak pernah mengerti isi kontrak itu apa dan bagaimana konsekuensinya. Di sisi lain PPK, juga bukanlah "Pejabat Penuh Kreativitas", dalam artian kreatif agar bagaimana transaksi yang tidak sesuai, "dianukan demikian", diolah sedemikian rupa sehingga menjadi terlihat legal dan tidak melanggar. Ini juga tidak boleh. Yang jelas, PPK adalah seorang yang kompeten. Seorang yang bisa mengelola pekerjaan. Seorang yang bisa mengelola risiko dengan tetap mencapai tujuan pekerjaannya yaitu PBJ yang efisien, efektif dan akuntabel.
Beberapa Kesalahan dari PPK
Berikut ini ada beberapa kesalahan yang dilakukan oleh PPK baik yang sering muncul.
  1. HPS (owner's estimate) disusun tidak berdasarkan keahlian. Dalam hal ini, kemunculan nominal dalam HPS tidak didukung dengan data-data yang valid atau mungkin tidak didukung dengan data sama sekali. Bahkan ketika PPK ditanya oleh auditor, tidak  bisa menjelaskan dari mana muncul angka HPS. Ini bisa membuat HPS tidak bisa diyakini dan jika kemahalan, berpeluang mengakibatkan harga kontraknya juga kemahalan. Walhasil berpotensi terjadi pemborosan
  2. Riwayat HPS (Dokumen pendukung penyusun HPS) tidak terdokumentasi.   Ini masih sering terjadi. Mungkin HPS-nya menunjukkan harga yang wajar, tetapi ketika ditanya bukti dokumen pendukung untuk menyusun HPS mana, tidak tahu karena memang tidak terdokumentasi. Jika seperti ini, PPK bisa dikejar terus oleh auditor. Dengan dokumentasi yang baik plus pemahaman yang memadai dari PPK tentang bagaimana proses menyusun HPSnya, akan memberikan informasi yang pas bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya auditor.
  3. Mark-up HPS. Dengan kata lain HPS yang terlalu tinggi. Ini sebenarnya tidak akan masalah apabila dalam proses pelelangan benar-benar fair sehingga harga yang terbentuk dalam kontrak nanti mencerminkan harga persaingan secara wajar. Namanya juga Harga Perkiraan, tetap ada potensi lebih mahal. Namun jika HPS dimark-up secara sengaja, kemudian proses lelangnya juga sengaja diatur agar yang menang si-"anu", nanti bagi-bagi "fee", Nah ini yang berbahaya. Berbahaya baik dunia maupun akhirat. Jika ketangkap KPK bisa masuk penjara, dan kemungkinan di akhiratnya yang jelas lebih berat hukumannya.
  4. Spesifikasi Teknis Tidak Jelas. Ini terkadang bisa terjadi. Spesifikasi yang kadang tidak mencerminkan barang/jasa yang benar-benar dibutuhkan. Misalnya pengadaan AC, dia hanya mencantumkan spesifikasi dimensi, warna dan besaran PK. Namun tidak disebutkan bahwa pengadaan AC tersebut sekaligus dengan pemasangannya, dan perlu garansi minimal 2 tahun, misalnya. Spesifikasi AC memang bisa dalam bentuk dimensi, besaran PK dan spesifikasi yang sifatnya fisik. Namun juga bisa ditambahkan spesifikasi yang berupa "performa". Misalnya bisa menjaga kondisi ruangan dalam kondisi dingin dengan suhu 23 derajat celcius. Nah dengan spesifikasi tersebut tentu ada biaya ikutan misalnya biaya untuk menguji AC tersebut
  5. Spesifikasi Teknis mengarah pada merk tertentu. Khususnya dalam pelelangan hal itu tidak diperbolehkan. Ada 2 kemungkinan disini, yaitu, memang PPK membutuhkan barang tersebut karena faktor selera, atau memang "nakal" menyusun spesifikasi teknis yang mengarah pada merk tertentu untuk mengambil keuntungan-keuntungan tertentu.
  6. Rancangan Kontrak dan Jenis Kontrak tidak ditentukan di awal (masih berupa template). Ini sering terjadi. Memang ada template rancangan kontrak, biasanya dari LKPP atau mungkin dari instansi lain. Tapi itu adalah template, artinya mesti disesuaikan dengan kebutuhan. Klausul-klausul dalam template yang tidak terpakai sebaiknya dihapus, dan kalau ada klausul yang perlu ditambahkan semestinya dicantumkan dalam rancangan kontrak. Contoh lain tentang kesalahan, terkadang di dalam kontrak itu sendiri tidak disebutkan apa jenis kontraknya lumpsum/harga satuan/gabungan. Ini diperparah dengan dokumen pengadaan yang tidak menyebutkan salah satu jenis kontrak. Buntutnya, bingung ketika mau membayar prestasi pekerjaan. Ada lagi, misalnya untuk dasar denda keterlambatan adalah nilai seluruh pekerjaan atau hanya bagian pekerjaan yang terlambat saja. Nah nanti setelah terjadi keterlambatan, bingung menghitung dendanya bagaimana. Pernah juga melihat, suatu pekerjaan tidak memakai uang muka, tapi di rancangan kontrak masih mengatur tentang uang muka. Pada intinya rancangan kontrak itu  benar-benar disusun sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah disusun spesifikasi teknis dan HPS-nya.
  7.  Tidak Mengawasi Jalannya Kontrak. Ini adalah PPK tipikal Pejabat Penandatangan Kuitansi. Biasanya dia hanya mengandalkan laporan dari anak buahnya atau mengandalkan laporan dari konsultan pengawas untuk pekerjaan konstruksi. Bagaimanapun juga, menerima laporan dengan asal, dengan memastikan bahwa laporan tersebut sesuai kenyataan, adalah hal yang sangat berbeda. 
  8. Memberikan addendum perpanjangan masa Pekerjaan tanpa Menelaah alasan Penyedia. Ini dilakukan biasanya PPK tidak mau berisiko untuk mengenakan denda keterlambatan. Biar tidak terlambat, masa pekerjaan ditambah dengan alasan-alasan tertentu. Nah alasan perpanjangan ini yang perlu diperhatikan. Jangan sampai keterlambatan karena alasan musim hujan dan pekerjaannya itu di bulan Desember. Yang namanya bulan Desember itu kita sepakat nbahwa peluang turunnya hujan cukup besar. Jadi itu alasan yang tidak tepat. Dan terkadang lucunya addendum dibuat pada tanggal terakhir masa pekerjaan sebelum addendum kontrak dan surat permohonan perpanjangan masa pekerjaan dari penyedia juga tanggal yang sama. Kalau ini terjadi, bakal jadi santapan empuk auditor, dengan temuan minimal adalah denda keterlambatan. Jadi PPK harus bersikap tegas, kritis namun bijak terhadap alasan penyedia jika terlambat dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan kata lain, PPK harus menelaah alasan keterlambatan tersebut.
  9.  Kontrak lumpsum diaddendum. Ini banyak sekali temuan dari auditor tentang kontrak bersifat lumpsum yang diaddendum khususnya addendum nilai kontrak. 
  10. Pemberian kesempatan 50 hari jika terjadi keterlambatan pekerjaan oleh penyedia. Pemberian kesempatan ini bukan suatu kewajiban, tetapi bersifat opsional. Tergantung bagaimana PPK menilai kemampuan penyedia. Jika memang mampu, diberikan kesempatan, jika tidak, sebaiknya jangan diberikan.
Sebenarnya masih ada beberapa kesalahan dari seorang PPK namun yang tertulis  di atas adalah yangadalah yang sering ditemui di lapangan. Jika diamati, kesalahan-kesalahan yang terjadi itu pada umumnya adalah masalah gagalnya penyedia dalam menyelesaikan pekerjaan khususnya di akhir tahun. Hal itu bisa disiasati dengan mengatur jadwal pelaksanaan pekerjaan agar tidak mepet di akhir tahun. Kembali ke manajemen risiko lagi. Selain itu, penyusunan spesifikasi teknis yang matang, HPS yang wajar dan rancangan kontrak yang sesuai dengan pekerjaan akan berperan besar dalam membantu berhasilnya pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
 
          


Tidak ada komentar:

Posting Komentar