Jumat, 09 September 2016

..PROCUREMENT IS SIMPLE, BUT.....

Meminjam quote dari legenda sepakbola, Johan Cruyff, "Soccer is simple but It's difficult to play simple". Sepakbola itu sederhana, tapi sulit untuk bermain sederhana. Oper bola ke rekan, nyari posisi, oper lagi ke teman, mendekati gawang lawan, dan cetak gol ke gawang lawan. Cetak gol sebanyak-banyaknya dan jangan sampai gawang sendiri kemasukan bola...Sesederhana itu. Namun dalam praktiknya bisa jadi lebih rumit dan tidak sesederhana yang dibayangkan.

Kalau dirasa-rasa, procurement atau pengadaan barang/jasa (PBJ) mirip-mirip dengan sepakbola. "Procurement is simple, but It's difficult to play simple". Pengadaan barang/jasa itu sederhana, tetapi sulit untuk memainkan dengan sederhana. Pengadaan barang/jasa itu pada dasarnya adalah kegiatan memperoleh barang/jasa yang dibutuhkan dan mengelolanya dengan efisien dan efektif. Dengan kata lain, kita bisa memperoleh barang/jasa dan mengelolanya dengan sumber daya yang minimal serta barang/jasa tersebut bisa memenuhi kebutuhan. Sesederhana itu. Namun dalam praktiknya, khususnya di sektor pemerintahan, tidaklah sesederhana itu. Ada beberapa hal yang membuat pengadaan barang/jasa pemerintah seakan-akan menjadi rumit dan ribet. Banyak hal yang membuat hal itu menjadi ribet.

Saya mencoba menyebutkan beberapa hal yang bisa menjawab mengapa procurement di sektor pemerintah itu rumit bin ribet alias ruwet. Yang saya tulis ini bukan dari hasil riset atau survei, tapi sekadar pendapat berdasarkan dari pengalaman saya dan teman-teman yang berkecimpung di dunia pengadaan barang/jasa pemerintah.

Berkaitan dengan Keuangan Negara/daerah 
Segala yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara/daerah biasanya akan ada peraturan yang detail dan rigid. Bisa dimaklumi, mengingat pengalaman di rezim Orde Baru yang katanya kental dengan KKN, sehingga di era reformasi ini pengelolaan keuangan negara perlu dipagari dengan peraturan-peraturan yang prosedural.

Pun demikian dengan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sumber pendanaannya menggunakan APBN/APBD baik sepenuhnya atau sebagian. Peraturannya juga cukup prosedural, dalam artian langkah-langkahnya sampai detail benar-benar diatur dan kadang prosesnya menjadi relatif panjang.


Sebelum tahun 2015 (sebelum ada e-lelang cepat), untuk proses pelelangan, membutuhkan waktu paling cepat 3 minggu, itu belum memperhitungkan jika lelang gagal, ada yang melakukan sanggah, pengaduan dan seterusnya. Untuk proses ini sekarang sudah ada pilihan dengan menggunakan e-lelang cepat dan ini sangat membantu untuk memangkas waktu pemilihan penyedia meskipun memang belum sempurna.

Contoh lain lagi, untuk pengadaan di atas 200 juta secara umum melalui mekanisme pelelangan, bahkan untuk konsultan di atas 50 juta harus melalui mekanisme seleksi (istilah tender tapi untuk konsultan). Memang kalau motede pelelangan kenapa? Apa risikonya?...paling tidak ada 2 hal yang mengapa lelang risikonya cukup tinggi, yaitu:
  • Kelemahan dalam membuat perencanaan barang/jasa yang akan diadakan. Hal ini berpotensi barang/jasa yang ditawarkan tidak sesuai dengan yang benar-benar dibutuhkan.
  • Timbulnya rekayasa lelang agar pemenangnya sesuai dengan yang diinginkan. Biasanya ini ada kepentingan-kepentingan tertentu. Ini berbahaya ketika yang punya kepentingan adalah "orang dibalik layar", dan dia punya kekuatan untuk mengatur proses lelang termasuk pelaksana PBJ seperti PA/KPA, PPK, ULP dan PPHP.
Dua risiko tersebut bisa mengarah gagalnya PBJ dalam mencapai tujuannya. Ini bukan berarti pelelangan tidak bagus, sama sekali bukan. Bagaimanapun juga, pelelangan adalah metode yang bisa digunakan agar harga barang/jasa menjadi efisien karena diperoleh melalui proses persaingan yang sehat dan kompetitif. Namun yang perlu di perhatikan adalah, karakter barang/jasa-nya tepat nggak kalau dilelang, kemudian bagaimana menyusun spesifikasinya, dan proses pelelangannya sendiri fair atau tidak.
Hal lain yang menjadi karakter khusus dari PBJ sektor pemerintah adalah tidak hanya memperhatikan keefektifan dan efisiensi, tetapi juga bagaimana PBJ bisa mengoptimalkan Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi kecil. Nah ini yang seakan-akan menjadi kontradiktif dalam pelaksanaan di lapangan. Kenapa demikian? Ambil contoh pengadaan komputer. Jika ingin mengejar efisiensi tentu lebih tepat jika pengadaannya di level distributor atau mungkin ke pabrikan, pasti harganya lebih murah. Tetapi di satu sisi harus mengoptimalkan usaha mikro, usaha kecil dan koperasi kecil. Jika membeli komputer di level usaha kecil tentu harganya akan lebih mahal dibandingkan harga di level pabrikan atau distributor. Nah mana yang harus diutamakan.

Intinya, pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki karakter di mana lebih prosedural, langkah-langkah detailnya diatur dan ada kebijakan untuk mengoptimalkan usaha kecil. Dalam praktik ini terkadang menjadi hal yang memperpanjang proses pengadaan barang/jasa dan ada kesan pelaku pengadaan harus melaksanakan prosedur dan hanya memiliki ruang yang sempit untuk melakukan kreativitas dalam proses pengadaan barang/jasa. 

Pemahaman yang Tidak Sama terhadap Peraturan PBJ
Mengapa tidak sama?, yang memahami tidak sama siapa?...Memang dalam Perpres 54 tahun 2010 dan perubahannya ada beberapa hal yang multitafsir atau terkadang sulit untuk dijalankan di lapangan. Lalu yang memahami berbeda siapa?...Biasanya perbedaan ini antara pelaku PBJ (PA/KPA, PPK,ULP, Pejabat Pengadaan dan PPHP), dengan Aparat Pengawas dhi. APIP, BPK dan Aparat Penegak Hukum (APH). Masalah ini yang menjadi momok bagi pelaku pengadaan, apalagi jika sudah berurusan dengan APH. Menurut pelaku PBJ mungkin sudah benar dalam menjalankan prosedur, tetapi muncul potensi dianggap kurang tepat oleh APIP, BPK atau APH.

Perbedaan pemahaman itu misalnya hal-hal sebagai berikut:
  • Ketika penyedia memperoleh keuntungan melebihi 15%, diperkenankan atau tidak
  • Kontrak lumpsum bisa diaddendum atau tidak, bagaimana kondisi di lapangan memaksa harus terjadi perubahan dalam kontrak
  • Harga Satuan Timpang apakah harus disesuaikan atau tidak
  • Khusus Pemda, di lapangan masih ada yang belum paham wewenang PPK dan PPTK   
  • dll.  

Solusi adalah menyamakan persepsi. LKPP memegang peran penting dalam hal ini. Selain itu, juga bisa bekerja sama dengan instansi kediklatan di APIP, BPK maupun APH untuk memberikan pemahaman yang sama tentang PBJ.  

Kualitas SDM
Ini saya rasa adalah masalah umum di hampir semua lini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk di dunia PBJ. Mungkin kita pernah mendengar atau membaca temuan auditor, PPK kurang cermat dalam menyusun Spesifikasi Teknis Barang/Jasa dan HPS. PPK juga tidak mengawasi jalannya kontrak, hanya asal tanda tangan saja, atau ULP yang tidak mengevaluasi penawaran penyedia dengan benar dll. Ini sebenarnya sudah mulai diperbaiki dengan adanya Jabatan Fungsional Pemeriksa, Assesmen kompetensi dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
Penguatan kualitas SDM tidak hanya dari para pelaku, tapi juga dari aparat pengawas, pemeriksa dan pengawas. Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat secara umum atau LSM. Bagaimana mereka memiliki pemahaman yang sama dalam proses PBJ.
Mentalitas 
Sebenarnya ini masalah mentalitas ini adalah sebagai bagian dari kualitas SDM, tetapi dibahas tersendiri karena ini adalah permasalahan yang penting dalam PBJ. mungkin tidak hanya PBJ, mungkin di semua lini pemerintahan ini faktor mentalitas adalah sesuatu yang penting. Jika kualitas SDM di atas adalah bagaimana kompetensi yang sifatnya teknis, mentalitas di sini adalah kompetensi yang sifanya adalah softskill. Mau sepintar apapun, jika mentalnya bobrok, selesai sudah PBJ. Pintar, tapi digunakan untuk mengakali peraturan atau untuk menutupi kecurangan, ini yang berbahaya.
Ini memang tidak mudah. Perlu dibangun kode etik, penegakan integritas, penegakan sanksi jika ada pelanggaran dan sistem pengendalian internal. Jauh di balik itu adalah bagaimana menanamkan mental praktisi pengadaan barang/jasa pemerintah yang amanah. Tanpa harus melakukan tindak pidana korupsi, tanpa harus melakukan suap, tanpa harus berbuat curang, dan tanpa harus menjatuhkan pihak lain. Masalah mental ini jauh lebih penting dan perlu dibenahi, karena ini masalah karakter dan tentu saja pembentukan karakter itu tidak pas hanya saat menjadi pelaku PBJ tapi sejak usia dini.
Jadi, dalam PBJ setidaknya ada 4 hal yang perlu diperbaiki secara selaras, yaitu:
  • Kualitas SDM
  • Regulasi/Peraturan
  • Infrastruktur, termasuk pemanfaatan Teknologi Informasi
  • Perbaikan mental pihak-pihak yang terkait dengan PBJ.    
Agar PBJ itu mudah dan memang mudah untuk dilaksanakan sekaligus mencapai tujuannya.