Kamis, 21 Desember 2017

HPS DAN KERUGIAN NEGARA




Apakah HPS yang terlalu tinggi...., Mark up HPS, .....HPS tidak wajar,...bisa mengakibatkan kerugian negara? Pertanyaan ini sering muncul terutama saat awal-awal saya belajar tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Lalu jawabannya bagaimana? Jawabannya bisa IYA bisa TIDAK. Mengapa demikian? Ada 2 hal yang perlu diperhatikan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu:
  1. Kita harus melihat proses pengadaan barang/jasa sebagai proses yang utuh mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan kontrak. HPS adalah sebagai salah satu bagian dari tahapan perencanaan yaitu rencana pelaksanaan pengadaan. Sementara itu kerugian negara bisa dihitung ketika pekerjaan dalam kontrak dilaksanakan. Jadi perlu melihat proses pengadaan mulai dari perencanaan, pemilihan penyedia sampai ke pelaksanaan kontrak.
  2. Ada tidaknya "kausalitas" atau hubungan sebab akibat antara HPS yang terlalu tinggi dengan terjadinya kerugian negara. Ini yang semestinya menjadi perhatian auditor dan Aparat Penegak Hukum (APH) saat berhadapan dengan masalah markup HPS.
Untuk lebih jelasnya kita bisa lihat dalam ilustrasi berikut.
Ilustrasi 1
Misalnya terdapat pengadaan air mineral botol kemasan 600 ml. PPK menyusun HPS dengan harga per botolnya Rp 10.000,-. Entah disengaja, entah PPKnya sedang lelah, atau mungkin dia survei harga pasarnya ke toko di dalam bandara,..sehingga dapat harga segitu. Kita coba abaikan dulu, pokoknya harganya yang muncul dalam HPS sebesar itu.
Nah dengan harga per botol Rp 10.000,- seandainya prosesnya adalah pelelangan, dengan pelelangan yang fair dan terbuka tanpa ada rekayasa dalam bentuk apapun....kira-kira penyedia akan menawar dengan harga berapa?

Saya yakin, harga penawaran yang masuk berkisar di harga Rp 3.000,- atau bahkan bisa di bawah Rp 3.000,-. Sekali lagi dengan catatan lelangnya fair dan terbuka, sehingga terjadi persaingan yang sehat. Karena memang harga pasar untuk 1 botol air mineral kemasan 600 ml kurang lebih adalah Rp.3000,-.

Nah dari ilustrasi ini, sedikit bisa disimpulkan bahwa HPS yang jauh di atas harga pasar, namun jika proses pelelangannya fair, terbuka dan bersaing, sangat kecil kemungkinan terjadi adanya pemborosan bahkan kerugian negara. Di sini fungsi check and balance antara PPK dengan Pokja ULP berjalan. 

Mungkin PPK lalai, tidak kompeten atau mungkin sengaja untuk menaikkan HPS. Tapi jika lelangnya fair, terbuka, tidak ada unsur rekayasa dan tidka mengarah kepada produk tertentu, kemungkinan sangat kecil bahkan bisa dikatakan nol persen, HPS yang tinggi dapat menyebabkan kerugian negara.

Namun akan sangat berbeda jika jika seperti ilustrasi berikut.
Ilustrasi 2.
PPK menyusun HPS air mineral dengan nilai Rp 10.000,- per botol dan PPK memang sengaja memasang harga tersebut. Selain itu PPK juga mempersyaratkan bahwa air mineral harus diambil dari mata air pegungungan "Himalaya". Seandainya ini diproses pelelangan, kemungkinan besar penawarnya akan sedikit, mungkin hanya 2 atau 3 penawaran yang  masuk dan diperkirakan harga penawarannya akan mendekati dengan harga HPS. 
Mengapa demikian?. Karena spesifikasi "harus diambil dari mata air pegungunan HImalaya" sudah sangat mengunci dan mengarah kepada penyedia tertentu. Biar pelelangan terlhat ada persaingan, maka penyedia yang sudah terpilih akan mengajak "pasukan pengiring" alias penyedia-penyedia yang juga teman-temannya dia untuk mengajukan penawaran. Namun biasanya penyedia ini hanya sebagai pasukan pengiring, untuk meramaikan lelang. Bisa jadi penawarannya terlalu tinggi, atau persyaratan tidka liengkap sehingga gugur di admnistrasi maupun teknis dan seterusnya. Intinya dia sebagai pengiring penyedia yang sudah terpilih sebelumnya. Ini namanya lelnag yang direkayasa.

Okelah, seandainya lelangnya tetap dilanjut, dan pemenang lelang ditetapkan dengan harga Rp 8.500,-. Nah tinggal bandingkan denghan harga pasar yang wajar berapa. Jika harga yang wajar adalah Rp 3.000,-, selisihnya itu yang bisa menjadi kerugian negara.

Ini adalah contoh HPS yang bisa mengakibatkan kerugian negara bahkan terdapat unsur tipikor, karena terdapat niat jahat sengaja menyusun HPS dengan harga tidak wajar dan diiringi dengan spesifikasi yang membatasi penyedia bahkan mengarah ke penyedia tertentu. Tindakan tersebut sekaligus perbuatan melawan hukum. Dari HPS dan spesifikasi yang sudah direkayasa tersebut diikuti dengan proses lelang yang memang tidak fair. Hasilnya adalah barang dengan harga yang jauh di atas harga pasar. 

Dalam ilustrasi ini HPS yang tinggi menimbulkan kerugian negara karena HPS tinggi yang disengaja, dan diiringi dengan proses lain yang menunjukkan kausalitas/hubungan sebab akibat bahwa kerugian negara karena harga barang hasil yang tinggi dan harga tersebut disebabkan oleh HPS yang terlalu tinggi pula.

Dan salah satu teknik klasik tindakan kecurangan dalam PBJ adalah dengan mengunci spesifikasi teknis barang/jasa yang diadakan dan HPSnya ditinggikan namun tidak terlalu kentara. Jika ini juga didukung dengan Pokja ULP yang tidak mengecek ulang spesifikasi dan kewajaran harga dari HPS, maka besar kemungkinan kecurangan yang sudah diskenario itu berjalan dengan lancar.
Ilustrasi di atas hanyalah contoh yang sangat sederhana untuk menjelaskan bahwa HPS yang terlalu tinggi itu tidak selalu berujung kerugian negara namun harus dilihat proses keseluruhan PBJ secara utuh dan ada hubungan sebab akibat.


 



Minggu, 17 Desember 2017

MENYEBUT MEREK DALAM SPESIFIKASI TEKNIS

Saya pernah ditanya oleh teman yang kebetulan seorang auditor. Pertanyaannya tentang pelelangan kursi yang dalam spesifikasinya menyebut merek. Apakah penyebutan merek itu melanggar peraturan dan apakah kira-kira bisa menjadi temuan? Saya jawab, menyebut merek hanya sebagai salah satu indikasi saja. Perlu diperkuat dengan bukti-bukti yang lain yang menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
  • Apakah dengan menyebut merek terjadi persaingan tidak sehat, artinya apakah dengan penyebutan merek itu, berujung pada pemenang lelang memang sudah diarahkan ke pihak-pihak tertentu. 
  • Lalu apakah dengan adanya penyebutan merek menyebabkan pemborosan, atau bahkan menimbulkan kerugian negara? 
Jika terdapat indikasi kuat tentang adanya persaingan tidak sehat bahkan menimbulkan pemborosan bahkan kerugian negara, bolehlah dijadikan usulan temuan.

Di sisi yang lain, saya juga pernah mendapat cerita dari seorang teman praktisi pengadaan. Beliau bercerita bahwa dalam praktik di lapangan, terkadang kalau tidak menyebut merek, susah untuk mendapatkan barang berkualitas. Contoh yang diceritakan kalau tidak salah pengadaan AC dan pengadaan alat kesehatan. Yang dibutuhkan adalah merek A, setelah lelang ternyata pemenangnya menawarakan merek Z.

Nah, sebenarnya bagaimana dengan masalah menyebut merek dalam spesifikasi teknis pada pelelangan? Apakah ada peraturan yang melarang atau paling tidak mengaturnya? Karena ada hal yang seakan-akan kontradiktif. Penyebutan merek bisa dianggap menutup persaingan dan mengarah ke pihak-pihak tertentu, namun jika tidak menyebutkan merek, dalam kasus tertentu pengadaan menjadi tidak efektif atau tidak efisien. 

Jika kita lihat pada Perpres 54/2010 dan perubahannya, tidak ada pasal yang secara tegas melarang untuk menyebutkan merek dalam penyusunan spesifikasi teknis. Namun terdapat pasal yang mengatur tentang penyusunan spesifikasi yang tidak boleh mengarah pada produk tertentu yang nantinya berujung pada persaingan tidak sehat. Pasal 81, menjelaskan tentang sanggahan di mana di dalamnya sanggahan bisa dilakukan salah satunya karena adanya indikasi persaingan tidak sehat dalam proses pelelangan sebagaimana dalam pasal 81 ayat 1 huruf b.





Pasal 81 ayat 1 huruf b
Penjelasan
(1) Peserta      pemilihan  yang memasukkan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa dirugikan, baik secara  sendiri maupun  bersama-sama  dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila menemukan:
a. penyimpangan terhadap  ketentuan  dan  prosedur yang  diatur dalam Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam  Dokumen Pengadaan Barang/ Jasa;
b. adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/atau
c. ........dst.

Huruf b - Yang  dimaksud rekayasa tertentu adalah upaya yang dilakukan  sehingga dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat, misalkan:

a. penyusunan  spesifikasi yang mengarah  kepada produk tertentu, kecuali untuk suku cadang;

b...........dst
 
Dari bunyi pasal tersebut, yang dilarang adalah penyusunan spesifikasi yang mengarah kepada produk tertentu, kecuali untuk suku cadang. Itupun sebagai salah satu contoh adanya rekayasa yang mengakibatkan persaingan tidak sehat. Jadi sebenarnya poin pentingnya bukan masalah menyebut merek atau tidak, tetapi apakah penyebutan merek tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat atau tidak.
Jika dilihat pada peraturan di bawahnya yaitu Peraturan Kepala LKPP No.14 tahun 2012, memang ada peraturan berupa larangan untuk menyusun spesifikasi yang mengarah ke produk tertentu kecuali untuk suku cadang. Hal ini untuk menekankan dan menegaskan pasal 81 ayat 1 b tersebut. Ini untuk mencegah sedini mungkin adanya rekayasa yang menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat. Namun ada yang memahami bahwa peraturan ini melarang penyebutan merek karena dikhawatirkan mengarah ke produk tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.

Solusinya adalah E-Purchasing dan Lelang Cepat
Dengan munculnya peraturan tentang e-procurement, yang terdiri dari e-purchasing dan e-tendering, lebih memudahkan pokja ULP/pejabat pengadaan dalam memilih penyedia secara efisien. Termasuk di dalamnya adalah bolehnya untuk menyebut merek barang/jasa yang dibutuhkan. 

E-purchasing jelas sangat memudahkan karena pelaksana e-purchasing tinggal memilih barang yang telah tersedia di e-katalog dan melakukan proses negosiasi dan transaksi di e-katalog. Barang/jasa di e-katalog tentu saja sudah jelas spesifikasinya termasuk mereknya juga sudah tersedia. Ini adalah solusi pertama jika ingin mengadakan barang/jasa tapi khawatir jika menyebut merek akan dinilai melanggar aturan pengadaan. Di dalam peraturan pengadaan sendiri khususnya melalui e-purchasing, dapat dipilih barang/jasa dengan merek yang dibutuhkan. E-purchasing ini secara global diatur dalam pasal 110 Perpres 54/2010 dan perubahannya, dan secara rinci diatur dalam Perka LKPP Nomor 6 tahun 2016 dan Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 tahun 2015.

Solusi selanjutnya adalah e-lelang cepat. Metode e-lelang cepat ini adalah sebagai  bagian dari e-tendering. Perpres 54/2010 dan perubahannya mengatur secara global tentang e-tendering di pasal 109 dan pasal 109 A. Sementara itu, peraturan lebih detail tentang e-tendering diatur dalam Peraturan Kepala LKPP no. 1 tahun 2015 tentang e-tendering. Dalam Pasal 4 Perka LKPP tersebut, disebutkan bahwa e-tendering dapat dilakukan dengan metode e-lelang cepat. Pasal 4 ayat 4 huruf b menyebutkan bahwa pelaksanaan e-lelang cepat dapat menyebutkan merek/type/jenis pada spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan.

Berdasarkan uraian di atas, yang dapat dipahami adalah penyebutan merek dilarang ketika dapat menimbulkan terjadinya persaingan tidak sehat. Namun demikian di lapangan bisa menimbulkan perbedaan persepsi biasanya antara pelaksana dengan auditor atau APH tentang dapat penyebutan merek itu menimbulkan persiangan tidak sehat atau tidak. Oleh karena itu jalan tengahnya adalah dengan menggunakan metode e-purchasing atau dengan e-lelang cepat.

Sisi Pelaksana PBJ
Pelaksana PBJ dalam menyikapi permasalahan penyebutan merek dapat melakukan hal-hal sebagai berikut.
  1. Awali dari niat baik terlebih dahulu. Pasang niat, bahwa jika memang harus menyebut merek, penyebutan merek itu sebagai suatu kebutuhan, bukan diniatkan untuk mengarahkan kepada produk dan penyedia tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengarahkan kepada tindakan-tindakan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain, suap, komisi dan yang lainnya. Tentu ini juga mesti ada analisis kebutuhan sebelumnya yang dituangkan dalam KAK dan menjadi bahan untuk dijelaskan jika ditanya oleh auditor.
  2. Jika memang membutuhkan barang dengan merek tertentu, utamakan untuk menggunakan metode e-purchasing. Metode ini secara prosedur memang mempermudah untuk memperoleh barang dengan merek yang dibutuhkan.
  3. Jika melalui e-purchasing tidak ada barang yang dibutuhkan, bisa menggunakan metode e-lelang cepat. Secara prosedur, metode ini memperbolehkan untuk menyebutkan merek. Yang perlu diperhatikan, saat melakukan "setting kriteria" persyaratan penyedia, sebisa mungkin penyedia yang masuk dalam daftar kriteria tersebut cukup banyak. Dalam hal ini berapa banyaknya tidak ada angka pasti, tapi paling tidak mengurangi risiko adanya anggapan timbul persaingan tidak sehat. Hasil setting kriteria bisa discreen-shoot sebagai bukti dokumentasi. Ini sebagai langkah antisipasi ketika ditanya auditor atau berurusan dengan APH.
  4. Jika metode 2 dan 3 tidak bisa, maka kembali ke angka 1, di mana harus pasang niat tidak merekayasa lelang, lelang dilaksanakan se-fair mungkin dan di awal didukung dengan KAK yang logis.
Sisi Auditor
Dari sisi Auditor, sudah semestinya auditor memiliki skeptisme, atau dengan kata lain auditor tidak langsung percaya dengan apa kata dari auditee, sehingga auditor perlu mengumpulkan bukti-bukti agar yakin bahwa pengadaan barang/jasa telah dilakukan sesuai prosedur, efektif dan efisien. Terkait dengan penyebutan merek, auditor perlu memahami bahwa permasalahannya bukan menyebut merek atau tidak. Namun bagaimana proses lelang itu fair atau tidak. Jika penyebutan merek memang disengaja agar terjadi persaingan tidak sehat yang berkaibat pada pemborosan atau bahkan kerugian negara, Itu yang mesti diangkat sebagai temuan. Bahkan meski menggunakan e-lelang cepat pun, mesti tetap diuji apakah proses lelangnya benar-benar fair atau tidak. Karena meski e-lelang cepat sudah by sistem, tetap ada risiko-risiko dalam proses lelang tersebut.  
Namun jika memang tidak ada alur cerita yang logis bahwa penyebutan merek adalah menjadi penyebab terjadinya persaingan sehat dan/atau pemborosan atau bahkan kerugian negara, sebaiknya perlu dipikir ulang apakah itu sebagai suatu temuan.