Kamis, 13 Oktober 2016

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA - PENDUDUKAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Setelah VOC dibubarkan, maka wilayah Nusantara atau saat itu lebih disebut Hindia Belanda dikuasai langsung oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan di mana salah satu penyebabnya adalah praktik korupsi dalam kongsi dagang tersebut. Sebuah pelajaran bahwa korupsi adalah sebuah penyakit yang sudah ada sejak dahulu.

Lalu bagaimana dengan kondisi perekonomian Hindia Belanda pada saat dikuasai pemerintah kolonial Belanda? Dilihat dari siapa yang menikmati produktivitas perekonomian, tidak jauh berbeda dengan masa pendudukan VOC. Rakyat pribumi memperoleh manfaat yang paling sedikit, karena keuntungan dari produktivitas itu lebih banyak mengalir ke negara penjajah. Yang sedikit membedakan antara pendudukan VOC dengan pendudukan pemerintah kolonial Belanda adalah:
  • VOC menganggap wilayah Hindia Belanda sebagai lahan untuk memperoleh bahan baku dan tenaga kerja yang murah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini mengingat VOC adalah kongsi dagang. Jika suatu saat nanti Hindia Belanda sudah habis bahan baku, atau tenaga kerjanya, atau dalam hitung-hitungan, tidak bisa menghasilkan keuntungan, bisa jadi VOC akan meninggalkan Hindia Belanda.
  • Pemerintah Belanda menganggap wilayah Hindia Belanda sebagai tanah jajahan, artinya sebagai wilayah kekuasaan negeri Belanda. Konsekuensinya adalah terdapat beberapa pembangunan infrastruktur yang tentunya dalam rangka kepentingan pemerintah kolonial untuk mempermudah mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia. Kebijakan ini di kemudian hari, dianggap membuat produktivitas ekonomi semakin baik dan rakyat pribumi mulai merasakan manfaatnya meskipun dalam porsi yang masih kecil.
Intinya, Hindia Belanda masih tetap dalam kondisi terjajah. Produktivitas ekonomi yang  terjadi tidak mengalir kepada rakyat, tapi dinikmati oleh orang-orang asing di mana Belanda paling besar, disusul pedagang asing Asia dan pengusaha lokal. Sementara itu, petani dan pekebun menerima manfaat paling sedikit. Sebuah kondisi yang menggambarkan perekonomian dikuasai oleh penguasa yang memang bukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat apalagi melakukan pemerataan distribusi pendapatan.
Pada masa pendudukan pemerintah kolonial, terjadi proses pembentukan pemerintah kolonial yang cukup panjang. Wilayah Hindia Belanda adalah sebagai tanah jajahan, oleh karena itu struktur pemerintahan, sistem hukum, termasuk infrastruktur harus dibangun untuk mempermudah mengatur jalannya pemerintah kolonial. Dengan kata lain, ini adalah  sistem ekonomi ekstraktif yang lebih sustainable dibandingkan masa pendudukan VOC untuk menyerap kekayaan SDA wilayah Hindia Belanda

Pada masa pendudukan pemerintah kolonial, terdapat beberapa peristiwa dan kebijakan ekonomi yang cukup penting, sebagai berikut.
  • Tahap awal pembentukan pemerintah kolonial (1800-1830)
  • Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
  • Kebijakan Ekonomi Liberal (1870-1933)
  • Masa Depresi Dunia dan kedatangan Bangsa Jepang (1930-1942)
Tahap Awal (1830-1870)
Pada awal pembentukan pemerintah kolonial, Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah kolonial berusaha melakukan perubahan-perubahan antara lain: mereformasi birokrasi peninggalan VOC dengan memisahkan secara jelas fungsi publik dengan fungsi komersial; Menghilangkan hak-hak istimewa para penguasa tradisional (seperti hak mewariskan kedudukan raja kepada keturunannya), menghapus beberapa bentuk kerja paksa, dan mengurangi peran birokrasi "feodal" yang banyak dimanfaatkan VOC. Dan yang paling menonjol adalah pembangunan jalan Anyer-Penarukan yang ironisnya justru dengan menggunakan sistem kerja rodi. 
Pada tahun 1811 s.d 1816, Inggris merebut wilayah Hindia Belanda dari kekuasaan Belanda, dan pada masa itu Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Raffles. Pada masa itu, Raffles berusaha menerapkan sistem pajak sewa tanah untuk menggantikan semua setoran paksa, upeti dan pungutan feodal lainnya. Namun kebijakan ini tidak berjalan dengan mulus karena beberapa kendala di lapangan.
Pada tahun 1816, Belanda kembali menguasai Hindia Belanda, peristiwa pergantian kekuasaan ini terkait erat dengan peristiwa perang Napoleon di Eropa. Pemerintah kolonial melanjutkan lagi beberapa kebijakan yang bersifat mereformasi kebijakan VOC sebelumnya, antara lain: mengumpulkan data statistik kondisi ekonomi di Jawa untuk kepentingan pajak, merekrut personel baru dari Belanda untuk mereformasi birokrasi dan mengurangi peran birokrasi tradisional. Namun, kebijakan ini juga mengalami beberapa hambatan yaitu: timbulnya resistensi, membutuhkan anggaran yang besar, dan pecahnya Perang Diponegoro tahun 1825 s.d 1830 yang memakan biaya yang cukup besar.

Sistem Tanam Paksa (1830-1870) 
Sistem ini dilatarbelakangi oleh defisit anggaran dan akibat menghadapi perang Diponegoro. Sistem ini pada dasarnya sama dengan VOC, di mana mengharuskan rakyat menyetor komoditas-komoditas tertentu yang laku keras di Eropa. Komoditas tersebut dibeli oleh pemerintah dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan ini benar-benar membantu anggaran pemerintah kolonial maupun pemerintah Belanda bahkan bisa mencapai surplus.

Namun demikian praktik sistem tanam paksa ini banyak menuai kecaman dari beberapa pihak, termasuk dari tokoh Belanda bernama Douwes Dekker. Kecaman tersebut mulai timbul ketika tahuin 1840-an terjadi kegagalan panen yang menyebabkan kelaparan dan kesengsaraan pada penduduk Jawa. Setelah 1850-an kebijakan mulai dilonggarkan dan sejak tahun 1870 sistem tanam paksa dihentikan. Maka, muncullah kebijakan ekonomi baru yaitu kebijakan ekonomi liberal. Kebijakan ini juga dipengaruhi oleh kondisi Eropa yang sedang trend untuk menerapkan sistem ekonomi liberal.

Kebijakan Ekonomi Liberal (1870-1933)
Pada pertengahan abad ke-19, terjadi perkembangan politik yang cukup penting, yaitu paham liberalisme di sebagian besar negara-negara Eropa termasuk Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa paham liberalisme ini mengutamakan hak dan kebebasan individu dalam kegiatan sosial, politik dan ekonomi. Perkembangan ini juga ikut mewarnai tatanan politik ekonomi dan sosial (khususnya ekonomi) di negara-negara jajahan termasuk Hindia Belanda. Pada prinsipnya, tiap individu bebas untuk melakukan kegiatan ekonomi secara sukarela. Tidak ada unsur pemaksaan dalam melakukan kegiatan ekonomi termasuk  dalam penggunaan lahan dan tenaga kerja. Politik tanam paksa mulai dihapus, meski dalam praktiknya masih ada perintah dan paksaan di tingkat petani, pekebun dan masyarakat awam. Kebijakan yang menonjol pada masa itu adalah membuka lebar kesempatan bagi usaha swasta untuk berinvestasi di Hindia Belanda dan pemerintah membatasi diri pada fungsi pemerintahan. Kebijakan ini juga didukung dengan adanya pengembangan infrastruktur berupa peraturan, sistem pemerintahan, sistem keuangan dan tentu saja pembangunan sarana yang bersifat fisik.  

Peraturan tersebut antara lain Undang-undang Gula dan Undang-undang Agraria. Sistem pemerintahan antara lain dengan memanfaatkan birokrasi tradisional menjadi ujung tombak di lapangan, sedangkan pemerintah Belanda sebagai pendamping dan pengarah bagi birokrat lokal tersebut. Terdapat dualisme sistem administrasi pemerintahan di mana yang satu adalah dari pemerintah kolonial, biasanya berupa jabatan residence, asisten residence dst. Sementara itu di sisi lain ada pejabat lokal, yaitu berupa jabatan bupati, wedana, dst. Pada  level jabatan yang sama terdapat hubungan koordinasi antar pejabat. Birokrasi seperti ini berjalan cukup baik dan dikatakan sebagai birokrasi yang efisien. Sistem hukum juga terjadi dualisme di mana penduduk asli tundunduk pada hukum adat sedangkan orang Eropa (termasuk korporasi) tunduk pada sistem hukum kolonial yang diambil dari sistem hukum Belanda. Kepastian hukum ini yang memicu investasi besar-besaran, terutama setelah tahun 1870. Dualisme sistem hukum ini mengakibatkan dualisme dalam kemajuan ekonomi kedua kelompok tersebut.  Sementara itu, bidang keuangan juga mengalami perkembangan dengan pembentukan De Javasche Bank pada tahun 1826 (De Javasche Bank ini yang kemudian menjadi Bank Indonesia). De Javasche Bank ditugasi sebagai bank sirkulasi, bank yang mengedarkan gulden sebagai alat tukar utama di Hindia Belanda. Kebijakan ini menggeser berbagai ragam mata uang yang sebelumnya banyak beredar. Pembangunan infrastruktur secara fisik juga mengalami perkembangan, misalnya pembangunan jalan Anyer-Penarukan, Jaringan telegraf, jalur kereta api dan sistem irigasi modern.

Politik Etis (1900-1930)
Pada masa kebijakan ekonomi liberal, terdapat peristiwa politik etis. Kebijakan ini timbul dari opini masyarakat Belanda untuk "membalas budi" kepada penduduk Hindia Belanda. Surplus ekonomi akibat sistem tanam paksa telah berhasil menyelamatkan negeri Belanda dari kebangkrutan, namun rakyat Hindia Belanda menderita. Politik etis ini diimplementasikan dalam beberapa program, yaitu: irigasi, pendidikan, dan migrasi (transmigrasi). Irigasi ini sedikit banyak bisa membantu perkembangan pertanian. Sektor pendidikan berdampak pada munculnya kesadaran berpolitik para pemuda pada masa itu untuk memperjuangkan kemerdekaan lewat jalur politik.

Bagaimana dengan Kesejahteraan Rakyat?
Jika membahas tentang kebijakan ekonomi, tidak akan lepas dari bagaimana kesejahteraan rakyatnya. Pada masa sistem tanam paksa, taraf hidup rakyat khususnya di Jawa dikatakan buruk. Namun dengan kebijakan ekonomi liberal dan adanya politik etis, taraf hidup rakyat mulai membaik. Namun demikian, terjadi ketimpangan yang cukup besar antara pribumi, asing asia, dan Eropa. Ketimpangan ini yang menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan terpelajar pribumi sehingga memperbesar hasrat untuk merdeka.

Masa Depresi Dunia dan Kedatangan Bangsa Jepang (1930-1942)
Pada tahun 1930-an terjadi peristiwa "The Great Depression" yang membuat perekonomian dunia menjadi lesu. Peristiwa ini sekaligus membuat teori ekonomi liberal menjadi dipertanyakan sehingga memunculkan gagasan, pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatur perekonomian. Peristiwa tersebut mempengaruhi kondisi perekonomian Hindia Belanda karena lesunya permintaan di luar negeri. Komoditas ekspor sulit mendapatkan pembeli dan harganya anjlok. Hal ini berdampak pada perekonomian dalam negeri, dengan melemahnya daya beli dan PHK. Kondisi tersebut sebenarnya konsekuensi adanya kebijakan ekonomi liberal dan keterbukaan perekonomian (ekspor impor tanpa hambatan)

Pemerintah kolonial segera merespon dengan melakukan kebijakan proteksi dan substitusi impor. Impor mulai dibatasi, dan mulai memproduksi barang di dalam  negeri sebagai pengganti barang yang sebelumnya diimpor. Dengan kata lain perekonomian domestik akan diperkuat. Kebijakan ini mulai memperbaiki perekonomian pada masa itu. Hingga akhirnya tahun 1942, Jepang menyerang wilayah Asia Pasifik termasuk wilayah Hindia Belanda, sehingga Hindia Belanda jatuh ke kekuasaan Jepang. Sebagaimana kita tahu Jepang menguasai Indonesia dari tahun 1942 s.d 1945.


Referensi:
 
Beodiono. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Mizan. Bandung. 2016