Rabu, 27 Juli 2016

PEMAKETAN DALAM PBJ

Salah satu langkah penting dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah Pemaketan. Sebagaimana dibahas sebelumnya, Pemaketan adalah salah satu kebijakan umum dalam penyusunan RUP. Dengan demikian, pemaketan dalam PBJ menjadi wewenang PA/KPA, meski nanti bisa dilakukan kaji ulang RUP oleh PPK bersama Pokja ULP maupun tim teknis.



Bagaimana Ketentuannya?
Ketentuan tentang pemaketan PBJ diatur dalam Pasal 24 ayat 2 dan 3 Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya. Ketentuan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
  • Pemaketan dilakukan dengan menetapkan sebanyak-banyaknya paket usaha untuk usaha mikro dan usaha kecil serta koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis.
  • Dilarang menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing.
  • Dilarang menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi Kecil
  • Dilarang memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan
  • menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
Cara melakukan Pemaketan 
Dalam melakukan pemaketan, perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya dapat disimpulkan menjadi poin-poin sebagai berikut.
  • Pemaketan disusun dengan memberikan peluang sebanyak mungkin kepada usaha mikro, usaha kecil dan koperasi kecil.
  • Pemaketan tetap memperhatikan keefektifan, efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis.
  • Pemaketan dilarang memecah paket untuk menghindari pelelangan. 
Lalu, bagaimana cara melakukan pemaketan? Secara umum cara melakukan pemaketan dapat dijelaskan sebagai berikut.
  1. Memastikan bahwa identifikasi kebutuhan dan anggarannya telah disusun sebelumnya.
  2. Memilah-milah paket pekerjaan mana yang masuk barang, pekerjaan konstruksi, konsultan, dan mana yang jasa lainnya.
  3. Memilah-milah paket pekerjaan sesuai dengan penyedia yang ada di pasar.
  4. Memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana pasal 24 ayat 2 dan 3 Perpres 54/2010 dan perubahannya.
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat skenario berikut ini. Sebagai contoh, Kementerian XYZ memiliki daftar identifikasi kebutuhan barang/jasa beserta anggarannya sebagai berikut.
      *      Pembangunan gedung administrasi
      :
      8 miliar rupiah
      *      Konsultan perencana konstruksi
      :
      300 juta rupiah
      *      Konsultan pengawas konstruksi
      :
      300 juta rupiah
      *      Konsultan roadmap organisasi
      :
      800 juta rupiah
      *      Penyusunan SOP
      :
      1 miliar rupiah
      *      Alat tulis kantor Satker X:
      :
      300 juta rupiah
      *      Alat tulis kantor Satker Y
      :
      250 juta rupiah
      *      Alat tulis kantor satker Z
      :
      250 juta rupiah
      *      Jasa kebersihan gedung
      :
      1,2 miliar rupiah
      *      Komputer
      :
      1 miliar rupiah
      *      printer
      :
      500 juta rupiah
      *      scanner
      :
      500 juta rupiah
      *      mebelair
      :
      3 miliar rupiah
Daftar di atas dianggap sebagai barang/jasa yang dibutuhkan selama satu tahun pada Kementerian XYZ. Daftar kebutuhan barang/jasa suatu K/L/D/I bisa dalam bentuk global bisa detail. Semakin detail daftar kebutuhan, akan semakin mudah dalam pemaketan. 

Mengelompokkan daftar kebutuhan berdasarkan jenis barang/jasa (barang, pekerjaan konstruksi, jasa lainnya atau jasa konsultansi).
Jika kita lihat di atas, maka untuk pekerjaan barang meliputi: alat tulis, komputer, printer, scanner dan mebelair. Untuk pekerjaan konstruksi meliputi: pembangunan gedung administrasi. Untuk jasa lainnya meliputi :Jasa kebersihan gedung, dan untuk konsultansi meliputi: konsultan roadmap organisasi, konsultan perencana dan konsultan pengawas konstruksi

Lalu diletakkan dimana untuk penyusunan SOP?. Kita perlu melihat terlebih dahulu bagaimana KAK terhadap kegiatan tersebut. Apakah akan dilakukan sendiri oleh kementerian tersebut, atau membutuhkan tenaga konsultan. Selain itu apakah dalam menyusun SOP tersebut memerlukan ATK, jamuan atau sewa ruang untuk rapat. Jika memang memerlukan konsultan, maka, penyusunan SOP dimasukkan ke dalam konsultan. Jika dilaksanakan sendiri maka dimasukkan dalam paket swakelola.

Menyesuaikan Dengan Ketersediaan Penyedia di Pasar
Langkah selanjutnya adalah, memilah apakah dalam 1 kelompok jenis barang/jasa yang sama, penyedia di pasar sama atau berbeda. Kita coba lihat di kelompok barang. Pada contoh di atas, barang meliputi ATK, komputer, printer, scanner dan mebelair. Apakah di pasar ada penyedia barang/jasa yang mempunyai kualifikasi untuk bisa menyediakan semua barang tersebut? Pada umumnya, komputer, printer dan scanner biasanya bisa disediakan oleh satu penyedia. Kita jarang melihat ada penyedia komputer sekaligus penyedia ATK apalagi sekaligus sebagai penyedia mebelair. Mungkin, bisa kita temui penyedia yang bisa menyediakan segalanya seperti barang-barang di atas. Tapi perlu diperhatikan, bahwa penyedia tersebut bisa jadi adalah perusahaan PALUGADA alias " Apa Lu Mau Gua Ada", alias perusahaan broker. Penyedia jenis ini biasanya akan menawarkan harga yang lebih tinggi daripada harga pasar karena memang dia bukan perusahaan yang benar-benar mempunyai kualifikasi di bidang tertentu

Oleh karena itu, sebaiknya dalam contoh kasus di atas, untuk pengadaan barang perlu dibagi 3 paket, yaitu (1) pengadaan komputer, printer dan scanner, (2) pengadaan ATK, dan (3) pengadaan mebelair. Demikian pula untuk jasa lainnya, pekerjaan konstruksi dan konsultansi. Jika di pasar, penyedianya memang secara umum berbeda, maka sebaiknya dipisah paket pekerjaannya. Misalnya pekerjaan konsultan roadmap organisasi dengan pekerjaan perencanaan dan pengawas pembangunan gedung pertemuan tentu berbeda.

Memperhatikan Ketentuan dalam Pemaketan sesuai pasal 24 ayat 2 dan 3.
Langkah ini bersifat kebijakan. Artinya seorang PA/KPA mempunyai beberapa pertimbangan, terutama terkait masalah keefektifan, efisiensi, persaingan sehat dan kualitas kemampuan teknis dari penyedia. Kita ambil contoh misalnya pengadaan komputer, printer dan scanner. PA/KPA bisa membagi menjadi 3 paket, komputer sendiri, printer sendiri atau scanner sendiri. Namun akan lebih efisien jika paket tersebut dijadikan satu, mengingat penyedia di pasar bisa menyediakan 3 jenis barang tersebut. Penyedia di pasar juga banyak, jadi memungkinkan terjadinya persaingan harga yang sehat melalui pelelangan sehingga muncul harga yang efisien. Opsi yang lain adalah pengadaan barang tersebut dilaksanakan melalui e-purchasing dengan menggunakan e-katalog yang dikembangkan oleh LKPP. Metode ini risikonya lebih kecil, karena tanpa melalui proses pelalangan hanya tinggal menunjuk penyedia yang terdapat di e-katalog, negosiasi dan berkontrak. Untuk proses e-purchasing mudah-mudahan bisa dibahas pada postingan selanjutnya Insya Allah.

Bagaimana dengan pengadaan ATK?. Berdasarkan identifikasi kebutuhan, terdapat 3 paket. Satker X : 500 juta, Satker Y : 250 juta dan satker Z :150 juta. Secara ideal, paket tersebut sebaiknya digabung menjadi 1 paket dan menjadi apa yang disebut dengan "consolidated demand". Secara logika, membeli barang dengan volume lebih besar akan mendapatkan harga yang lebih murah dari harga satuannya. Namun demikian perlu dilihat dulu faktor-faktor yang lain. Misalnya lokasi satker. Jika lokasi satker masih dalam lokasi yang masih mudah untuk dijangkau maka digabung lebih baik. Tapi jika satker X ada di Jakarta, satker Y ada di Banda Aceh dan Sakter Z ada di Manokwari, sebaiknya paket pengadaan tersebut dipisah, karena secara kondisi lebih memungkinkan untuk dipecah sekaligus memberikan kesempatan lebih banyak kepada usaha kecil menjadi pemenang penyedia barang/jasa. Lagi-lagi ini adalah masalah kebijakan dari PA/KPA.

Lalu bagaimana dengan mebelair? Pertimbangannya sama dengan pengadaan ATK. Namun dengan nilai 3 miliar, disarankan untuk memecah paket tersebut untuk memberikan kesempatan kepada usaha mikro, kecil dan koperasi kecil untuk berpartisipasi. Pemecahan bisa berdasarkan lokasi misalnya. Jika mebelair itu untuk kebutuhan di Banda Aceh, Jakarta dan Manokwari, sebaiknya dipecah berdasarkan lokasi. Atau jika di Jakarta semua, mungkin bisa dipecah per termin atau per lokasi kantor dengan maksud memberikan kesempatan lebih banyak kepada usaha mikro, kecil dan koperasi kecil. Namun perlu diingat bahwa memecah paket tidak boleh untuk menghindari lelang. Dengan kata lain, Pemecahan paket dibuat untuk memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada usaha mirko, kecil dan koperasi kecil, namun masih dalam koridor melalui mekanisme pelelangan. Pelelangan sendiri wajib dilakukan untuk paket senilai di atas 200 juta rupiah. Jadi untuk mebelair senilai 3 miliar bisa dipecah menjadi 3 paket dengan masing-masing nilainya 1 miliar, menjadi 5 paket dengan nilai masing-masing misalnya 600 juta rupiah, atau menjadi 10 paket dengan nilai masing-masing 300 juta rupiah. Dan Ingat!....tidak diperbolehkan memecah paket menjadi 20 paket sehingga masing-masing paket senilai 150 juta. Karena dengan nilai 150 juta, tidak wajib lagi menggunakan metode pelelangan dan bisa memakai metode pengadaan langsung. Catatan juga, nilai masing-masing paket juga tidak harus sama, yang penting sebisa mungkin jangan sampai paket pengadaan barang tersebut ada yang di bawah 200 juta rupiah karena bisa disinyalir memecah paket menghindari pelelangan.

Dalam kasus di atas, salah satu alternatif hasil pemaketan bisa menjadi seperti berikut.
  • Pengadaan komputer, printer, scanner  (2 miliar rupiah)
  • Pengadaan mebelair untuk satker X     (900 juta rupiah)
  • Pengadaan mebelair untuk satker Y     (1,25 miliar rupiah)
  • Pengadaan mebelair untuk satker Z     (850 juta rupiah)
  • Pengadaan ATK                                  (800 juta rupiah)
  • Pengadaan gedung administrasi           (8 miliar rupiah)
  • Pengadaan konsultan perencana          (300 juta rupiah)  
  • Pengadaan konsultan pengawas           (300 juta rupiah) 
  • Pengadaan konsultan roadmap             (800 juta rupiah)
  • Pengadaan jasa kebersihan gedung      (1,2 miliar rupiah) 
  • Penyusunan SOP (1 miliar rupiah) dilaksanakan melalui swakelola.
Sekali lagi, hasil pemaketan di atas adalah salah satu alternatif. Artinya ada beberapa pilihan lain. Misalnya, ATK bisa saja tidak digabung, tapi tetap dipecah. mebelair bisa dipecah menjadi 2 atau 3 atau yang lain sesuai kebutuhan. Penggabungan dan pemecahan itu harus dalam koridor pasal 24 ayat 2 dan 3 sebagaimana dijelaskan di atas. Selain itu, juga ada ketentuan dalam pasal 100 Perpres 54 tahun 2010 dan perubahannya, bahwa pekerjaan dengan nilai 2,5 miliar sebaiknya untuk usaha kecil, sementara di atas 2,5 miliar untuk usaha non kecil. Dalam kasus mebelair di atas, lebih tepat jika dipecah, karena memang nilainya di atas 2,5 miliar dan jika dilihat dari karakter pekerjaan memang bisa dilakukan oleh usaha kecil. Jadi tidak serta merta pekerjaan dengan nilai di bawah 2,5 miliar langsung untuk usaha kecil, namun harus dilihat dulu kompleksitas pekerjaannya kira-kira usaha kecil mampu atau tidak. Jika tidak mampu, jangan dipaksakan untuk usaha kecil. Karena disebutkan dalam ketentuan di atas, pemaketan juga memperhatikan keefektifan dan kemampuan teknis dari penyedia.
Satu hal lagi, kebijakan pemaketan disini termasuk dalam ranah administrasi. Dengan demikian bisa menggunakan judgement untuk membuat pemaketan berdasarkan koridor yang ada. Kesalahan dalam melakukan pemaketan secara umum masuk dalam pelanggaran administrasi. Namun demikian, akan berbeda jika kesalahan yang dilakukan memang disengaja (ada niat jahat) dan melawan hukum serta berdampak pada kerugian negara. Sebagai contoh, seorang PA memecah paket untuk menghindari lelang, lalu pelaksanaan pengadaannya melalui pengadan langsung dengan menunjuk kepada penyedia yang sudah dikenal dan terdapat mark-up harga disitu. Jika ditelusuri lebih dalam terdapat kerugian negara dan jumlahnya pasti, maka hal tersebut bisa masuk ke ranah tindak pidana korupsi (tipikor), bukan sekadar pelanggaran administrasi.
  


 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar