Tone at the top..., artinya kurang lebih adalah sikap, kebijakan, ritme atau gaya dari seorang pemimpin. Nah...tone at the top ini sangat berpengaruh terhadap suatu organisas, baik sektor swasta apalagi sektor pemerintah. Bahkan di sektor pemerintahan lebih dibutuhkan pemimpin yang benar-benar bisa mengubah ke arah yang lebih baik, mengubah mind set dilayani menjadi melayani, dan benar-benar menjadi pelayan publik, serta tetap sesuai dengan koridor peraturan yang berlaku.
Pun demikian dengan pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ). Sebagian besar perkara korupsi di tanah air ini adalah perkara PBJ. Dan ironissnya lagi yang menjadi tersangka tidak jarang adalah pucuk pimpinannya sendiri, entah menteri...entah gubernur..bupati...walikota...kepala dinas..... Padahal pemimpin adalah yang seharusya memberikan contoh kebaikan. Jika pemimpinnya seperti itu, bagaimana yang dipimpinnya?. Tone at the top mempengaruhi apa yang ada di bawahnya. Pemimpin akan dianut oleh anak buahnya...seorang pemimpin akan mempengaruhi bagaimana organisasi yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya sudah koruspi, atau dia membuat atau mempengaruhi lingkungan/kondisi/suasana atau mungkin sistem yang memudahkan untuk melakukan korupsi, maka kemungkinan besar instansi itu menjadi bobrok. Tak heran jika COSO sebagai salah satu best practice pengendalian internal, salah satu komponennya adalah lingkungan pengendalian. Nah dalam lingkungan pengendalian itulah, peran dari pemimpin cukup besar.
Saya sempat mendengarkan cerita bernada "curhatan semi keluhan" dari teman di Inspektorat salah satu kabupaten/kota (Inspektorat adalah auditor internal di pemerintahan). Dia bercerita, di kabupaten/kota dia, untuk proyek pengadaan barang/jasa lewat penyedia, mesti lapor bupati. Jika melalui swakelola lapor wakil bupati. Ternyata memang sang bupati dan wakilnya ada kepentingan di situ untuk "main" dalam proses tendernya. Wah duet maut bener nih saya bilang. Mungkin saat nyalon bupati, modalnya banyak jadi mesti minimal mbalikin modal plus keuntungan sekian persen..(Lhoh jadi dagang ya... kok nyari untung)....Kalau sudah pimpinan seperti itu, biasanya anak buahnya responnya macem-macem. Mungkin ada yang ,alah jadi pengikut setia, mendapat bagian, posisi aman, Pokoknya Asal Bapak Senang. Mungkin ada yang tidak setuju tapi tidak berani mengingatkan karena risikonya mungkin besar. Atau mungkin ada yang berani tapi siap-siap untuk paling tidak ditempatkan di unit kerja yang kering...(gurun pasir kali ya..).
Nah, kawan saya ini juga akhirnya nggak bisa apa-apa. Ini berartinya fungsi Aparat Pengawas Internal Pemerintah alias APIP alias internal auditornya pemerintah nggak jalan fungsinya. Karena apa, karena pimpinannya. Nah kalau APIP saja nggak jalan, gimana...padahal APIP fungsinya untuk mengawasi efektivitas pengendalian internal pemerintah dan kalau dalam cerita tadi adalah pengadaan barang/jasa. Lagi-lagi ini tentang tone at the top, tentang bagaimana seorang pemimpin memberi warna terhadap instansi yang dipimpinnya.
Lain lagi kalau cerita yang ini. Sekitar 1,5 bulan yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk melihat-melihat dan belajar tentang bagaimana kebijakan salah seorang bupati di daerah Pantura sana. Ada beberapa kebijakan yang saya rasa cukup menarik dan menjadi terobosan baru, khususnya dalam membenahi birokrasi dimana di dalamnya terdapat tentang pengelolaan pengadaan barang/jasa. Dan saya juga dapat cerita dari kawan ULP dari sanatentang kebijakan-kebijakan beberapa hal khususnya dalam pengelolaan pengadaan barang/jasa.
Cerita pertama yang menarik adalah, ternyata Pak Bupati itu pada awal-awal menjabat mengajak anak buahnya untuk piknik....Wah enak bener nih, awal menjabat langsung piknik...mungkin ada benarnya juga...agar nggak pada kurang piknik. Nah, pikniknya kemana?...ternyata ke salah lembaga pemasyarakatan alias LP. Disitu masing-masing disuruh masuk ke salah satu ruangan dan merasakan bagaimana nikmatnya tinggal disitu. Dan bupati berpesan, kalau nggak mau tinggal disitu, kerja yang bener dan jangan sekali-kali korupsi. Sebuah shock terapy yang saya rasa cukup bagus di awal-awal Pak Bupati memimpin.
Nah, bagaimana dengan kebijakan di PBJ sendiri? Pak Bupati sudah berkomitmen tidak akan mencampuri urusan per-tender-an, Pokoknya itu sudah menjadi ranahnya ULP. Bahkan beliau sendiri membuat semacam surat pernyataan yang intinya beliau tidak campur tangan urusan tender, melarang penyedia barang/jasa memberikan apapun ke bupati baik langsuing atau lewat keluarga dan memberikan apapun ke pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan. Surat pernyataan itu ditandatangani, diperbanyak dan disebar di seluruh satuan kerja sehingga semuanya tahu. Jadi kecil kemungkinan akan ada penyedia nakal masuk, membawa-bawa nama bupati. Kebijakan yang lain adalah saat penyedia sudah menang. Pak Bupati mengundang langsung penyedia yang menang dan beliau menyerahkan surat yang isinya antara lain:
Salah satu kebijakan Pak Bupati yang saya merasa salut adalah, kewajiban untuk menghentikan segala aktivitas pada saat jam shalat dhuhur dan ashar. Bagi pegawai muslim wajib shalat berjama'ah. Mungkin ini tidak terkait langsung dengan menata sistem birokrasi, tetapi saya termasuk yang percaya bahwa Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Korupsi adalah termasuk perbuatan keji dan munkar, dan itu adalah salah satu tindakan preventif untuk mencegah tindakan korupsi dan perbuatan lain yang semisal. Nah..terus para koruptor itu juga shalat tuh.... Itu yang salah bukan shalatnya tapi manusianya.Bahkan orang yang shalat pun masih terancam kok. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan riya' dalam shalatnya...Wah jadi membahas shalat. Intinya adalah, perbaikan bangsa ini tidak hanya dari sistem, tapi juga dari personal orangnya. Bayangkan juga semua pegawai di negeri ini takut akan neraka, yakin bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui, apakah masih berani untuk korupsi....
Saya sempat mendengarkan cerita bernada "curhatan semi keluhan" dari teman di Inspektorat salah satu kabupaten/kota (Inspektorat adalah auditor internal di pemerintahan). Dia bercerita, di kabupaten/kota dia, untuk proyek pengadaan barang/jasa lewat penyedia, mesti lapor bupati. Jika melalui swakelola lapor wakil bupati. Ternyata memang sang bupati dan wakilnya ada kepentingan di situ untuk "main" dalam proses tendernya. Wah duet maut bener nih saya bilang. Mungkin saat nyalon bupati, modalnya banyak jadi mesti minimal mbalikin modal plus keuntungan sekian persen..(Lhoh jadi dagang ya... kok nyari untung)....Kalau sudah pimpinan seperti itu, biasanya anak buahnya responnya macem-macem. Mungkin ada yang ,alah jadi pengikut setia, mendapat bagian, posisi aman, Pokoknya Asal Bapak Senang. Mungkin ada yang tidak setuju tapi tidak berani mengingatkan karena risikonya mungkin besar. Atau mungkin ada yang berani tapi siap-siap untuk paling tidak ditempatkan di unit kerja yang kering...(gurun pasir kali ya..).
Nah, kawan saya ini juga akhirnya nggak bisa apa-apa. Ini berartinya fungsi Aparat Pengawas Internal Pemerintah alias APIP alias internal auditornya pemerintah nggak jalan fungsinya. Karena apa, karena pimpinannya. Nah kalau APIP saja nggak jalan, gimana...padahal APIP fungsinya untuk mengawasi efektivitas pengendalian internal pemerintah dan kalau dalam cerita tadi adalah pengadaan barang/jasa. Lagi-lagi ini tentang tone at the top, tentang bagaimana seorang pemimpin memberi warna terhadap instansi yang dipimpinnya.
Lain lagi kalau cerita yang ini. Sekitar 1,5 bulan yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk melihat-melihat dan belajar tentang bagaimana kebijakan salah seorang bupati di daerah Pantura sana. Ada beberapa kebijakan yang saya rasa cukup menarik dan menjadi terobosan baru, khususnya dalam membenahi birokrasi dimana di dalamnya terdapat tentang pengelolaan pengadaan barang/jasa. Dan saya juga dapat cerita dari kawan ULP dari sanatentang kebijakan-kebijakan beberapa hal khususnya dalam pengelolaan pengadaan barang/jasa.
Cerita pertama yang menarik adalah, ternyata Pak Bupati itu pada awal-awal menjabat mengajak anak buahnya untuk piknik....Wah enak bener nih, awal menjabat langsung piknik...mungkin ada benarnya juga...agar nggak pada kurang piknik. Nah, pikniknya kemana?...ternyata ke salah lembaga pemasyarakatan alias LP. Disitu masing-masing disuruh masuk ke salah satu ruangan dan merasakan bagaimana nikmatnya tinggal disitu. Dan bupati berpesan, kalau nggak mau tinggal disitu, kerja yang bener dan jangan sekali-kali korupsi. Sebuah shock terapy yang saya rasa cukup bagus di awal-awal Pak Bupati memimpin.
Nah, bagaimana dengan kebijakan di PBJ sendiri? Pak Bupati sudah berkomitmen tidak akan mencampuri urusan per-tender-an, Pokoknya itu sudah menjadi ranahnya ULP. Bahkan beliau sendiri membuat semacam surat pernyataan yang intinya beliau tidak campur tangan urusan tender, melarang penyedia barang/jasa memberikan apapun ke bupati baik langsuing atau lewat keluarga dan memberikan apapun ke pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan. Surat pernyataan itu ditandatangani, diperbanyak dan disebar di seluruh satuan kerja sehingga semuanya tahu. Jadi kecil kemungkinan akan ada penyedia nakal masuk, membawa-bawa nama bupati. Kebijakan yang lain adalah saat penyedia sudah menang. Pak Bupati mengundang langsung penyedia yang menang dan beliau menyerahkan surat yang isinya antara lain:
- Penyedia menang secara fair
- Penyedia tidak boleh memberikan apapun kepada pihak-pihak yang terkait dengan PBJ
- Penyedia harus mengerjakan pekerjaan sesuai kontrak
- Jika menyalahi kontrak atau melakukan tindakan suap dll, maka harus siap dengan konsekuensinya.
Salah satu kebijakan Pak Bupati yang saya merasa salut adalah, kewajiban untuk menghentikan segala aktivitas pada saat jam shalat dhuhur dan ashar. Bagi pegawai muslim wajib shalat berjama'ah. Mungkin ini tidak terkait langsung dengan menata sistem birokrasi, tetapi saya termasuk yang percaya bahwa Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Korupsi adalah termasuk perbuatan keji dan munkar, dan itu adalah salah satu tindakan preventif untuk mencegah tindakan korupsi dan perbuatan lain yang semisal. Nah..terus para koruptor itu juga shalat tuh.... Itu yang salah bukan shalatnya tapi manusianya.Bahkan orang yang shalat pun masih terancam kok. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan riya' dalam shalatnya...Wah jadi membahas shalat. Intinya adalah, perbaikan bangsa ini tidak hanya dari sistem, tapi juga dari personal orangnya. Bayangkan juga semua pegawai di negeri ini takut akan neraka, yakin bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui, apakah masih berani untuk korupsi....
Semoga di era otonomi daerah ini, lebih banyak terpilih pemimpin-pemimpin yang ada pada cerita nomor dua, dibandingkan cerita yang pertama. Lebih banyak pemimpin yang amanah. Karena bagaimanapun juga, pemimpin adalah pemberi contoh yang diteladani sekaligus pemikul amanah yang berat. Bagus tidaknya instansi salah satunya dipengaruhi oleh siapa dan bagaimana pemimpinnya.
Bagus postingannya..👍👍👍
BalasHapusTerima kasih....
BalasHapus