Ingat dengan penggalan lirik sebuah lagu dari Iwan Fals, Ujung Aspal Pondok Gede
"Di depan masjid
Samping rumah wakil pak lurah
Tempat dulu kami bermain
Mengisi cerahnya hari
Namun sebentar lagi
Angkuh tembok pabrik berdiri
Satu persatu sahabat pergi
Samping rumah wakil pak lurah
Tempat dulu kami bermain
Mengisi cerahnya hari
Namun sebentar lagi
Angkuh tembok pabrik berdiri
Satu persatu sahabat pergi
Dan tak kan pernah kembali"
Memang itu hanya sebuah lagu...tapi seperti lagunya Om Iwan pada umumnya, selalu berisi kritik sosial dari fenomena-fenomena yang ada. Yang menarik dari penggalan syair lagu tersebut adalah mengapa adanya pabrik baru kok ditanggapi dengan nada resah? Ada apa gerangan? Mungkin penggalan syair tersebut dapat diterjemahkan ke bahasa yang lebih lugas menjadi pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
- Sudahkah negara kita ini menjadi negara industri?
- Mengapa harus menjadi negara industri?
- Sudahkah industri ini punya daya saing dengan negara-negara lain?
- Sudahkah industri kita tahan terhadap yang namanya krisis ekonomi?
- Sudahkan industri kita melibatkan sektor-sektor lain khususnya sektor pertanian?
- Pertanyaan terakhir...apakah pembangunan industri selama ini berdampak bagi kesejahteraan rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya menggambarkan tentang suatu harapan/keinginan tentang "industri yang sebaiknya atau seharusnya" sehingga industri tidak dianggap resah oleh sebagian kaum yang merasa terpinggirkan oleh kehadiran industri.
Apakah Indonesia Negara Industri?
Sudahkah kita menjadi negara industri? atau paling tidak apakah Indonesia mengarah menjadi negara industri? Jawaban paling mudah adalah dengan melihat data peran sektor industri dalam perekonomian. Berapa porsi PDB yang dihasilkan oleh sektor industri terhadap total PDB, lebih tinggi tidak dibandingkan dengan sektor lain? Nah, katanya BPS nih...sektor industri menjadi sektor paling penghasil PDB paling besar dibandingkan sektor-sektor lain. Sektor lain itu antara lain sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor jasa-jasa dll. Nah kondisi tersebut menjadi sinyalemen bahwa Indonesia sudah atau sedang berproses menjadi negara industri.
Sebenarnya lebih mantab lagi kalau didukung dengan bagaimana penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Jika sektor industri menyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan sektor-sektor yang lain berarti semakin menegaskan bahwa negara kita adalah negara industri. Namun menurut data dari BPS, ternyata tenaga kerja Indonesia sebagian besar masih berkutat di sektor pertanian bukan terserap di sektor industri. Tenaga kerja di sektor industri tidak sampai separuh tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian. Bahkan tenaga kerja sektor industri masih lebih sedikit dari tenaga kerja di sektor perdagangan. Hal ini berarti bahwa Indonesia masih belum sepenuhnya menjadi negara industri, atau jangann-jangan industri yang dibangun masih belum bisa menyerap banyak tenaga kerja, atau memang tenaga kerjanya yang kurang memenuhi kriteria untuk bekerja di sektor industri. Dugaan-dugaan yang perlu dikaji lebih lanjut.
Sudahkah kita menjadi negara industri? atau paling tidak apakah Indonesia mengarah menjadi negara industri? Jawaban paling mudah adalah dengan melihat data peran sektor industri dalam perekonomian. Berapa porsi PDB yang dihasilkan oleh sektor industri terhadap total PDB, lebih tinggi tidak dibandingkan dengan sektor lain? Nah, katanya BPS nih...sektor industri menjadi sektor paling penghasil PDB paling besar dibandingkan sektor-sektor lain. Sektor lain itu antara lain sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor jasa-jasa dll. Nah kondisi tersebut menjadi sinyalemen bahwa Indonesia sudah atau sedang berproses menjadi negara industri.
Sebenarnya lebih mantab lagi kalau didukung dengan bagaimana penyerapan tenaga kerja di sektor industri. Jika sektor industri menyerap tenaga kerja paling banyak dibandingkan sektor-sektor yang lain berarti semakin menegaskan bahwa negara kita adalah negara industri. Namun menurut data dari BPS, ternyata tenaga kerja Indonesia sebagian besar masih berkutat di sektor pertanian bukan terserap di sektor industri. Tenaga kerja di sektor industri tidak sampai separuh tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian. Bahkan tenaga kerja sektor industri masih lebih sedikit dari tenaga kerja di sektor perdagangan. Hal ini berarti bahwa Indonesia masih belum sepenuhnya menjadi negara industri, atau jangann-jangan industri yang dibangun masih belum bisa menyerap banyak tenaga kerja, atau memang tenaga kerjanya yang kurang memenuhi kriteria untuk bekerja di sektor industri. Dugaan-dugaan yang perlu dikaji lebih lanjut.
Mengapa negara Industri?
Nah..pertanyaan selanjutnya, mengapa harus industri, mengapa bukan pertanian atau kelautan, atau pertambangan atau sektor lain? Bukankah negara kita negara yang kaya akan hasil bumi, barang tambang banyak dan kekayaan laut melimpah. Mengapa yang dikembangkan adalah sektor industri? Nah menurut para ahli ekonomi, nilai tambah di sektor industri lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian maupun pertambangan. Sektor industri juga lebih bisa dikendalikan dibandingkan sektor pertanian yang beberapa komoditas masih tergantung pada musim. Pendapat ini cukup masuk akal dan bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh sederhana saja:
mari kita bandingkan harga 1 kg singkong mentah, dengan 1 kg singkong goreng di tukang gorengan, sama harga 1 kg keripik singkong maicih. Tak perlu pake survei, semua orang juga tahu bahwa pasti yang disebutkan terakhir paling mahal dan yang disebutkan paling awal itu yang paling murah. Atau contoh lain: pohon kayu, dibandingkan kayu batangan, dibandingkan dengan barang mebel, tentunya harganya juga beda. Ini menunjukkan bahwa barang hasil olahan (barang industri) lebih mahal atau dengan kata lain nilai tambahnya lebih tinggi dibandingkan barang yang langsung dari alam. Nilai tambah yang tinggi ini secara umum juga menggambarkan ongkos bagi tenaga kerjanya. Upah di sektor industri secara umum lebih tinggi dibandingkan upah di sektor pertanian. Dengan demikian, dengan adanya tenaga kerja yang terserap di sektor industri, tingkat kesejahteraan menjadi meningkat. Itu sebenarnya harapan dengan adanya pembangunan di sektor industri
Apakah Industri kita Memiliki Daya Saing?
Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, jika kita mau membangun industri, kira-kira barang hasil industri kita laku atau tidak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ingat, di era perdangan bebas saat ini, daya saing mutlak diperlukan agar kita tidak menjadi bangsa konsumtif. Indikatornya bisa dilihat dari berapa permintaan barang produksi dalam negeri baik permintaan domestik dan permintaan luar negeri. Daya saing di sini bukan berarti kita harus memaksakan diri bersaing dengan negara lain untuk barang yang sama. Jika kita ingin bersaing dengan Jepang untuk teknologi otomotif jelas berat..bahkan sangat berat. Namun kita bisa mengembangkan produk yang negara-negara lain tidak punya atau belum mengembangkannya, atau kita memang mempunyai keunggulan di situ, misalnya agroindustri (industri dengan bahan baku dari sektor pertanian) atau industri dari bahan dasar hasil laut. Bukankah kita kaya akan sumber daya itu.
Apakah Industri Kita sudah Tahan terhadap Krisis ekonomi?
Sebagai salah satu konsekuensi dari adanya globalisasi ekonomi adalah risiko adanya krisis ekonomi global. Krisis ini bisa mempengaruhi perekonomian dalam negeri termasuk sektor industri. Industri yang paling berpengaruh tentu adalah industri yang sebagian besar transaksinya adalah berupa ekspor dan impor. Hal yang perlu diperhatikan tentunya adalah tindakan antisipatif ketika ada gejala resesi ekonomi dunia, serta membangun pasar domestik yang kuat sehingga ketergantungan terhadap perdagangan luar negeri bisa dikurangi.
Sudahkah ada Keterkaitan erat antara Sektor Industri dengan Sektor Lain?
Indonesia dari dulu dikenal sebagai negara agraris, sebagai penghasil produk pertanian. Selain itu Indonesia juga memiliki potensi laut yang besar dan barang tambang yang melimpah. Alangkah bagusnya jika bahan mentah tersebut tidak langsung diekspor tetapi diolah menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Memang perlu modal yang besar untuk itu dan perlu penguasaan teknologi dan tentu saja tenaga kerja yang berkualitas. Namun dengan mendayagunakan sektor-sektor esktraktif seperti pertanian dan pertambangan maka akan lebih mengoptimalkan sektor industri dan mengoptimalkan peran sektor-sektor lain dalam mendukung sektor industri.
Sudahkah Pembangunan Industri selama ini berdampak pada kesejahteraan rakyat?
Nah ini sebenarnya pertanyaan terakhirnya. Mau industri mau pertanian, mau pertambangan mau perdagangan, itu adalah masalah cara. Endingnya adalah bagaimana rakyat bisa sejahtera. Nah sudahkah kehadiran industri memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat,,, malah ditanggapi dengan nada ''resah'' seperti penggalan lagu di atas.
Saya sempat membaca beberapa penelitian tentang kaitan antara industrialisasi dengan kemiskinan di Indonesia di beberapa daerah. Ternyata hasilnya cukup bervariasi. Ada yang berpengaruh negatif, artinya kehadiran industri dapat mengurangi kemiskinan. Ada yang berpengaruh negatif tetapi tidak begitu signifikan, artinya kehadiran industri berdampak dalam mengurangi kemiskinan tetapi tidak begitu signifikan. Bahkan ada yang justru malah membuat kemiskinan meningkat. Nah ini bisa jadi ada yang salah dengan kehadiran industri. Dan hal itu perlu diteliti lagi mengapa bisa membuat kemiskinan meningkat. Memang kehadiran industri tidak serta merta berdampak dalam jangka pendek, mungkin bisa dalam waktu tahunan bahkan puluhan tahun baru terlihat dampaknya.
Kemarin sempat ngobrol dengan kawan di instansi di Kementerian Perindustrian. Katanya beliau, dan beliau ini juga dapat bocoran para ahli-ahli yang sedang memikirkan bagaimana industri kita ke depannya terutama untuk menghadapi pasar bebas. Nah, katanya....industri kita ini bagus di hulu dan hilir, tapi bolong di tengah... Maksudnya gimana...Kita bisa memproduksi barang mentah, tapi barang mentah tersebut kita belum maksimal mengolahnya menjadi barang setengah jadi, walhasil sebagian besar barang mentah itu langsung diekspor. Setelah diolah di luar negeri menjadi barang setengah jadi, barulah barang tersebut kita impor untuk kita olah menjadi barang jadi. Barang jadi tersebut bisa kita ekspor atau bisa untuk memenuhi kebutuhan domestik. Kondisi ini agak mengkhawatirkan ketika terjadi resesi ekonomi global. Resesi ekonomi menyebabkan permintaan barang mentah dari luar negeri menurun, sehingga penerimaan dari sektor yang menghasilkan barang mentah juga menurun. Di sisi lain, resesi jika diiringi dengan kurs rupiah yang melemah menyebabkan naiknya harga barang impor. Padahal kita membutuhkan barang setengah jadi dari luar negeri sebagai bahan baku. Kena deh dari dua sisi. Ini yang katanya sedang diperbaiki.
Mungkin itu adalah salah satu tantangan dalam industri, di samping beberapa tantangan sebagaimana dalam pertanyaan-pertanyaan di atas. Selain itu juga dari willingness pemerintah dan kesadaran dari rakyatnya sendiri. Masalah ego sektoral atau lebih pasnya adalah "kurang koordinasi" terkadang muncul, antara instansi yang mengurusi industri dengan yang mengurusi pertanian, perdagangan dan yang lainnya. Selain itu juga kesadaran dari rakyat itu sendiri bahwa industri itu hadir untuk mensejahterakan mereka. Kita sering mendengar, susahnya pembebasan lahan untuk industri atau penolakan-penolakan yang kadang disertai dengan kericuhan. Ini yang perlu dicari titik temunya, di mana rakyat itu sebenarnya juga mencicipi kesejahteraan dengan adanya industri, bukan malah tersingkirkan. Atau dengan kata lain, industri dengan tetap mengusung ekonomi kerakyatan...bukan ekonomi kapitalisme dimana yang punya modal besar dialah yang menang.
Nah..pertanyaan selanjutnya, mengapa harus industri, mengapa bukan pertanian atau kelautan, atau pertambangan atau sektor lain? Bukankah negara kita negara yang kaya akan hasil bumi, barang tambang banyak dan kekayaan laut melimpah. Mengapa yang dikembangkan adalah sektor industri? Nah menurut para ahli ekonomi, nilai tambah di sektor industri lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian maupun pertambangan. Sektor industri juga lebih bisa dikendalikan dibandingkan sektor pertanian yang beberapa komoditas masih tergantung pada musim. Pendapat ini cukup masuk akal dan bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh sederhana saja:
mari kita bandingkan harga 1 kg singkong mentah, dengan 1 kg singkong goreng di tukang gorengan, sama harga 1 kg keripik singkong maicih. Tak perlu pake survei, semua orang juga tahu bahwa pasti yang disebutkan terakhir paling mahal dan yang disebutkan paling awal itu yang paling murah. Atau contoh lain: pohon kayu, dibandingkan kayu batangan, dibandingkan dengan barang mebel, tentunya harganya juga beda. Ini menunjukkan bahwa barang hasil olahan (barang industri) lebih mahal atau dengan kata lain nilai tambahnya lebih tinggi dibandingkan barang yang langsung dari alam. Nilai tambah yang tinggi ini secara umum juga menggambarkan ongkos bagi tenaga kerjanya. Upah di sektor industri secara umum lebih tinggi dibandingkan upah di sektor pertanian. Dengan demikian, dengan adanya tenaga kerja yang terserap di sektor industri, tingkat kesejahteraan menjadi meningkat. Itu sebenarnya harapan dengan adanya pembangunan di sektor industri
Apakah Industri kita Memiliki Daya Saing?
Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, jika kita mau membangun industri, kira-kira barang hasil industri kita laku atau tidak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ingat, di era perdangan bebas saat ini, daya saing mutlak diperlukan agar kita tidak menjadi bangsa konsumtif. Indikatornya bisa dilihat dari berapa permintaan barang produksi dalam negeri baik permintaan domestik dan permintaan luar negeri. Daya saing di sini bukan berarti kita harus memaksakan diri bersaing dengan negara lain untuk barang yang sama. Jika kita ingin bersaing dengan Jepang untuk teknologi otomotif jelas berat..bahkan sangat berat. Namun kita bisa mengembangkan produk yang negara-negara lain tidak punya atau belum mengembangkannya, atau kita memang mempunyai keunggulan di situ, misalnya agroindustri (industri dengan bahan baku dari sektor pertanian) atau industri dari bahan dasar hasil laut. Bukankah kita kaya akan sumber daya itu.
Apakah Industri Kita sudah Tahan terhadap Krisis ekonomi?
Sebagai salah satu konsekuensi dari adanya globalisasi ekonomi adalah risiko adanya krisis ekonomi global. Krisis ini bisa mempengaruhi perekonomian dalam negeri termasuk sektor industri. Industri yang paling berpengaruh tentu adalah industri yang sebagian besar transaksinya adalah berupa ekspor dan impor. Hal yang perlu diperhatikan tentunya adalah tindakan antisipatif ketika ada gejala resesi ekonomi dunia, serta membangun pasar domestik yang kuat sehingga ketergantungan terhadap perdagangan luar negeri bisa dikurangi.
Sudahkah ada Keterkaitan erat antara Sektor Industri dengan Sektor Lain?
Indonesia dari dulu dikenal sebagai negara agraris, sebagai penghasil produk pertanian. Selain itu Indonesia juga memiliki potensi laut yang besar dan barang tambang yang melimpah. Alangkah bagusnya jika bahan mentah tersebut tidak langsung diekspor tetapi diolah menjadi bahan setengah jadi atau barang jadi sehingga memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Memang perlu modal yang besar untuk itu dan perlu penguasaan teknologi dan tentu saja tenaga kerja yang berkualitas. Namun dengan mendayagunakan sektor-sektor esktraktif seperti pertanian dan pertambangan maka akan lebih mengoptimalkan sektor industri dan mengoptimalkan peran sektor-sektor lain dalam mendukung sektor industri.
Sudahkah Pembangunan Industri selama ini berdampak pada kesejahteraan rakyat?
Nah ini sebenarnya pertanyaan terakhirnya. Mau industri mau pertanian, mau pertambangan mau perdagangan, itu adalah masalah cara. Endingnya adalah bagaimana rakyat bisa sejahtera. Nah sudahkah kehadiran industri memberikan dampak bagi kesejahteraan rakyat,,, malah ditanggapi dengan nada ''resah'' seperti penggalan lagu di atas.
Saya sempat membaca beberapa penelitian tentang kaitan antara industrialisasi dengan kemiskinan di Indonesia di beberapa daerah. Ternyata hasilnya cukup bervariasi. Ada yang berpengaruh negatif, artinya kehadiran industri dapat mengurangi kemiskinan. Ada yang berpengaruh negatif tetapi tidak begitu signifikan, artinya kehadiran industri berdampak dalam mengurangi kemiskinan tetapi tidak begitu signifikan. Bahkan ada yang justru malah membuat kemiskinan meningkat. Nah ini bisa jadi ada yang salah dengan kehadiran industri. Dan hal itu perlu diteliti lagi mengapa bisa membuat kemiskinan meningkat. Memang kehadiran industri tidak serta merta berdampak dalam jangka pendek, mungkin bisa dalam waktu tahunan bahkan puluhan tahun baru terlihat dampaknya.
Kemarin sempat ngobrol dengan kawan di instansi di Kementerian Perindustrian. Katanya beliau, dan beliau ini juga dapat bocoran para ahli-ahli yang sedang memikirkan bagaimana industri kita ke depannya terutama untuk menghadapi pasar bebas. Nah, katanya....industri kita ini bagus di hulu dan hilir, tapi bolong di tengah... Maksudnya gimana...Kita bisa memproduksi barang mentah, tapi barang mentah tersebut kita belum maksimal mengolahnya menjadi barang setengah jadi, walhasil sebagian besar barang mentah itu langsung diekspor. Setelah diolah di luar negeri menjadi barang setengah jadi, barulah barang tersebut kita impor untuk kita olah menjadi barang jadi. Barang jadi tersebut bisa kita ekspor atau bisa untuk memenuhi kebutuhan domestik. Kondisi ini agak mengkhawatirkan ketika terjadi resesi ekonomi global. Resesi ekonomi menyebabkan permintaan barang mentah dari luar negeri menurun, sehingga penerimaan dari sektor yang menghasilkan barang mentah juga menurun. Di sisi lain, resesi jika diiringi dengan kurs rupiah yang melemah menyebabkan naiknya harga barang impor. Padahal kita membutuhkan barang setengah jadi dari luar negeri sebagai bahan baku. Kena deh dari dua sisi. Ini yang katanya sedang diperbaiki.
Mungkin itu adalah salah satu tantangan dalam industri, di samping beberapa tantangan sebagaimana dalam pertanyaan-pertanyaan di atas. Selain itu juga dari willingness pemerintah dan kesadaran dari rakyatnya sendiri. Masalah ego sektoral atau lebih pasnya adalah "kurang koordinasi" terkadang muncul, antara instansi yang mengurusi industri dengan yang mengurusi pertanian, perdagangan dan yang lainnya. Selain itu juga kesadaran dari rakyat itu sendiri bahwa industri itu hadir untuk mensejahterakan mereka. Kita sering mendengar, susahnya pembebasan lahan untuk industri atau penolakan-penolakan yang kadang disertai dengan kericuhan. Ini yang perlu dicari titik temunya, di mana rakyat itu sebenarnya juga mencicipi kesejahteraan dengan adanya industri, bukan malah tersingkirkan. Atau dengan kata lain, industri dengan tetap mengusung ekonomi kerakyatan...bukan ekonomi kapitalisme dimana yang punya modal besar dialah yang menang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar