Saya pernah ditanya oleh teman yang kebetulan seorang auditor. Pertanyaannya tentang pelelangan kursi yang dalam spesifikasinya menyebut merek. Apakah penyebutan merek itu melanggar peraturan dan apakah kira-kira bisa menjadi temuan? Saya jawab, menyebut merek hanya sebagai salah satu indikasi saja. Perlu diperkuat dengan bukti-bukti yang lain yang menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
- Apakah dengan menyebut merek terjadi persaingan tidak sehat, artinya apakah dengan penyebutan merek itu, berujung pada pemenang lelang memang sudah diarahkan ke pihak-pihak tertentu.
- Lalu apakah dengan adanya penyebutan merek menyebabkan pemborosan, atau bahkan menimbulkan kerugian negara?
Di sisi yang lain, saya juga pernah mendapat cerita dari seorang teman praktisi pengadaan. Beliau bercerita bahwa dalam praktik di lapangan, terkadang kalau tidak menyebut merek, susah untuk mendapatkan barang berkualitas. Contoh yang diceritakan kalau tidak salah pengadaan AC dan pengadaan alat kesehatan. Yang dibutuhkan adalah merek A, setelah lelang ternyata pemenangnya menawarakan merek Z.
Nah, sebenarnya bagaimana dengan masalah menyebut merek dalam spesifikasi teknis pada pelelangan? Apakah ada peraturan yang melarang atau paling tidak mengaturnya? Karena ada hal yang seakan-akan kontradiktif. Penyebutan merek bisa dianggap menutup persaingan dan mengarah ke pihak-pihak tertentu, namun jika tidak menyebutkan merek, dalam kasus tertentu pengadaan menjadi tidak efektif atau tidak efisien.
Jika kita lihat pada Perpres 54/2010 dan perubahannya, tidak ada pasal yang secara tegas melarang untuk menyebutkan merek dalam penyusunan spesifikasi teknis. Namun terdapat pasal yang mengatur tentang penyusunan spesifikasi yang tidak boleh mengarah pada produk tertentu yang nantinya berujung pada persaingan tidak sehat. Pasal 81, menjelaskan tentang sanggahan di mana di dalamnya sanggahan bisa dilakukan salah satunya karena adanya indikasi persaingan tidak sehat dalam proses pelelangan sebagaimana dalam pasal 81 ayat 1 huruf b.
Jika kita lihat pada Perpres 54/2010 dan perubahannya, tidak ada pasal yang secara tegas melarang untuk menyebutkan merek dalam penyusunan spesifikasi teknis. Namun terdapat pasal yang mengatur tentang penyusunan spesifikasi yang tidak boleh mengarah pada produk tertentu yang nantinya berujung pada persaingan tidak sehat. Pasal 81, menjelaskan tentang sanggahan di mana di dalamnya sanggahan bisa dilakukan salah satunya karena adanya indikasi persaingan tidak sehat dalam proses pelelangan sebagaimana dalam pasal 81 ayat 1 huruf b.
Pasal
81 ayat 1 huruf b
|
Penjelasan
|
(1) Peserta pemilihan yang memasukkan dokumen kualifikasi atau penawaran yang merasa
dirugikan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan peserta lainnya dapat mengajukan sanggahan secara tertulis apabila
menemukan:
a. penyimpangan
terhadap ketentuan dan
prosedur yang diatur dalam
Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam
Dokumen Pengadaan Barang/ Jasa;
b. adanya rekayasa yang mengakibatkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat; dan/atau
c. ........dst.
|
Huruf
b
- Yang dimaksud rekayasa tertentu
adalah upaya yang dilakukan sehingga
dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat, misalkan:
a.
penyusunan
spesifikasi yang mengarah
kepada produk tertentu, kecuali untuk suku cadang;
b...........dst
|
Dari bunyi pasal tersebut, yang dilarang adalah penyusunan spesifikasi yang mengarah kepada produk tertentu, kecuali untuk suku cadang. Itupun sebagai salah satu contoh adanya rekayasa yang mengakibatkan persaingan tidak sehat. Jadi sebenarnya poin pentingnya bukan masalah menyebut merek atau tidak, tetapi apakah penyebutan merek tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat atau tidak.
Jika dilihat pada peraturan di bawahnya yaitu Peraturan Kepala LKPP No.14 tahun 2012, memang ada peraturan berupa larangan untuk menyusun spesifikasi yang mengarah ke produk tertentu kecuali untuk suku cadang. Hal ini untuk menekankan dan menegaskan pasal 81 ayat 1 b tersebut. Ini untuk mencegah sedini mungkin adanya rekayasa yang menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat. Namun ada yang memahami bahwa peraturan ini melarang penyebutan merek karena dikhawatirkan mengarah ke produk tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.
Solusinya adalah E-Purchasing dan Lelang Cepat
Dengan munculnya peraturan tentang e-procurement, yang terdiri dari e-purchasing dan e-tendering, lebih memudahkan pokja ULP/pejabat pengadaan dalam memilih penyedia secara efisien. Termasuk di dalamnya adalah bolehnya untuk menyebut merek barang/jasa yang dibutuhkan.
E-purchasing jelas sangat memudahkan karena pelaksana e-purchasing tinggal memilih barang yang telah tersedia di e-katalog dan melakukan proses negosiasi dan transaksi di e-katalog. Barang/jasa di e-katalog tentu saja sudah jelas spesifikasinya termasuk mereknya juga sudah tersedia. Ini adalah solusi pertama jika ingin mengadakan barang/jasa tapi khawatir jika menyebut merek akan dinilai melanggar aturan pengadaan. Di dalam peraturan pengadaan sendiri khususnya melalui e-purchasing, dapat dipilih barang/jasa dengan merek yang dibutuhkan. E-purchasing ini secara global diatur dalam pasal 110 Perpres 54/2010 dan perubahannya, dan secara rinci diatur dalam Perka LKPP Nomor 6 tahun 2016 dan Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 tahun 2015.
Solusi selanjutnya adalah e-lelang cepat. Metode e-lelang cepat ini adalah sebagai bagian dari e-tendering. Perpres 54/2010 dan perubahannya mengatur secara global tentang e-tendering di pasal 109 dan pasal 109 A. Sementara itu, peraturan lebih detail tentang e-tendering diatur dalam Peraturan Kepala LKPP no. 1 tahun 2015 tentang e-tendering. Dalam Pasal 4 Perka LKPP tersebut, disebutkan bahwa e-tendering dapat dilakukan dengan metode e-lelang cepat. Pasal 4 ayat 4 huruf b menyebutkan bahwa pelaksanaan e-lelang cepat dapat menyebutkan merek/type/jenis pada spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan.
Berdasarkan uraian di atas, yang dapat dipahami adalah penyebutan merek dilarang ketika dapat menimbulkan terjadinya persaingan tidak sehat. Namun demikian di lapangan bisa menimbulkan perbedaan persepsi biasanya antara pelaksana dengan auditor atau APH tentang dapat penyebutan merek itu menimbulkan persiangan tidak sehat atau tidak. Oleh karena itu jalan tengahnya adalah dengan menggunakan metode e-purchasing atau dengan e-lelang cepat.
Sisi Pelaksana PBJ
Pelaksana PBJ dalam menyikapi permasalahan penyebutan merek dapat melakukan hal-hal sebagai berikut.
Solusinya adalah E-Purchasing dan Lelang Cepat
Dengan munculnya peraturan tentang e-procurement, yang terdiri dari e-purchasing dan e-tendering, lebih memudahkan pokja ULP/pejabat pengadaan dalam memilih penyedia secara efisien. Termasuk di dalamnya adalah bolehnya untuk menyebut merek barang/jasa yang dibutuhkan.
E-purchasing jelas sangat memudahkan karena pelaksana e-purchasing tinggal memilih barang yang telah tersedia di e-katalog dan melakukan proses negosiasi dan transaksi di e-katalog. Barang/jasa di e-katalog tentu saja sudah jelas spesifikasinya termasuk mereknya juga sudah tersedia. Ini adalah solusi pertama jika ingin mengadakan barang/jasa tapi khawatir jika menyebut merek akan dinilai melanggar aturan pengadaan. Di dalam peraturan pengadaan sendiri khususnya melalui e-purchasing, dapat dipilih barang/jasa dengan merek yang dibutuhkan. E-purchasing ini secara global diatur dalam pasal 110 Perpres 54/2010 dan perubahannya, dan secara rinci diatur dalam Perka LKPP Nomor 6 tahun 2016 dan Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 tahun 2015.
Solusi selanjutnya adalah e-lelang cepat. Metode e-lelang cepat ini adalah sebagai bagian dari e-tendering. Perpres 54/2010 dan perubahannya mengatur secara global tentang e-tendering di pasal 109 dan pasal 109 A. Sementara itu, peraturan lebih detail tentang e-tendering diatur dalam Peraturan Kepala LKPP no. 1 tahun 2015 tentang e-tendering. Dalam Pasal 4 Perka LKPP tersebut, disebutkan bahwa e-tendering dapat dilakukan dengan metode e-lelang cepat. Pasal 4 ayat 4 huruf b menyebutkan bahwa pelaksanaan e-lelang cepat dapat menyebutkan merek/type/jenis pada spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan.
Berdasarkan uraian di atas, yang dapat dipahami adalah penyebutan merek dilarang ketika dapat menimbulkan terjadinya persaingan tidak sehat. Namun demikian di lapangan bisa menimbulkan perbedaan persepsi biasanya antara pelaksana dengan auditor atau APH tentang dapat penyebutan merek itu menimbulkan persiangan tidak sehat atau tidak. Oleh karena itu jalan tengahnya adalah dengan menggunakan metode e-purchasing atau dengan e-lelang cepat.
Sisi Pelaksana PBJ
Pelaksana PBJ dalam menyikapi permasalahan penyebutan merek dapat melakukan hal-hal sebagai berikut.
- Awali dari niat baik terlebih dahulu. Pasang niat, bahwa jika memang harus menyebut merek, penyebutan merek itu sebagai suatu kebutuhan, bukan diniatkan untuk mengarahkan kepada produk dan penyedia tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengarahkan kepada tindakan-tindakan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain, suap, komisi dan yang lainnya. Tentu ini juga mesti ada analisis kebutuhan sebelumnya yang dituangkan dalam KAK dan menjadi bahan untuk dijelaskan jika ditanya oleh auditor.
- Jika memang membutuhkan barang dengan merek tertentu, utamakan untuk menggunakan metode e-purchasing. Metode ini secara prosedur memang mempermudah untuk memperoleh barang dengan merek yang dibutuhkan.
- Jika melalui e-purchasing tidak ada barang yang dibutuhkan, bisa menggunakan metode e-lelang cepat. Secara prosedur, metode ini memperbolehkan untuk menyebutkan merek. Yang perlu diperhatikan, saat melakukan "setting kriteria" persyaratan penyedia, sebisa mungkin penyedia yang masuk dalam daftar kriteria tersebut cukup banyak. Dalam hal ini berapa banyaknya tidak ada angka pasti, tapi paling tidak mengurangi risiko adanya anggapan timbul persaingan tidak sehat. Hasil setting kriteria bisa discreen-shoot sebagai bukti dokumentasi. Ini sebagai langkah antisipasi ketika ditanya auditor atau berurusan dengan APH.
- Jika metode 2 dan 3 tidak bisa, maka kembali ke angka 1, di mana harus pasang niat tidak merekayasa lelang, lelang dilaksanakan se-fair mungkin dan di awal didukung dengan KAK yang logis.
Dari sisi Auditor, sudah semestinya auditor memiliki skeptisme, atau dengan kata lain auditor tidak langsung percaya dengan apa kata dari auditee, sehingga auditor perlu mengumpulkan bukti-bukti agar yakin bahwa pengadaan barang/jasa telah dilakukan sesuai prosedur, efektif dan efisien. Terkait dengan penyebutan merek, auditor perlu memahami bahwa permasalahannya bukan menyebut merek atau tidak. Namun bagaimana proses lelang itu fair atau tidak. Jika penyebutan merek memang disengaja agar terjadi persaingan tidak sehat yang berkaibat pada pemborosan atau bahkan kerugian negara, Itu yang mesti diangkat sebagai temuan. Bahkan meski menggunakan e-lelang cepat pun, mesti tetap diuji apakah proses lelangnya benar-benar fair atau tidak. Karena meski e-lelang cepat sudah by sistem, tetap ada risiko-risiko dalam proses lelang tersebut.
Namun jika memang tidak ada alur cerita yang logis bahwa penyebutan merek adalah menjadi penyebab terjadinya persaingan sehat dan/atau pemborosan atau bahkan kerugian negara, sebaiknya perlu dipikir ulang apakah itu sebagai suatu temuan.
Namun jika memang tidak ada alur cerita yang logis bahwa penyebutan merek adalah menjadi penyebab terjadinya persaingan sehat dan/atau pemborosan atau bahkan kerugian negara, sebaiknya perlu dipikir ulang apakah itu sebagai suatu temuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar