Terdapat kabar di media bahwa Pak Presiden mengumpulkan jajaran kepolisian dan kejaksaan. Hal ihwalnya karena penyerapan anggaran yang lambat. Nah..apa urusannya penyerapan anggaran sama kepolisian dan kejaksaan? Apakah ketika penyerapan anggaran sedikit lantas bakal dilaporkan ke kepolisian atau kejaksaan...tentu saja bukan. Usut punya usut, ternyata para pelaksana anggaran baik di APBN maupun APBD, ketakutan untuk melaksanakan anggaran. Takut kenapa? takut jika nanti ditangkap KPK, takut diburu kejaksaan, takut dikejar-kejar polisi...Intinya mereka takut akan risiko dipersalahkan apalagi dipidanakan akibat dianggap salah dalam mengelola keuangan negara/daerah. Walhasil uang negara nganggur, nggak dipakai buat mbangun, penyerapan anggaran seret dan bisa berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Kenapa bisa begitu? Sulit untuk menemukan jawaban yang pasti sebagaimana 1 ditambah 1 sama dengan 2. Jawaban yang bisa jadi mendekati itu adalah, Perbedaan antara pelaksana anggaran dengan penegak hukum dalam memahami peraturan-peraturan terkait pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, Pak Presiden mengumpulkan jajaran penegak hukum di bawahnya agar bisa membedakan mana yang sifanya administratif mana yang sifatnya pidana...mana yang sifatnya kebijakan berupa diskresi...mana yang nyolong. Dalam artian, jika sifatnya adalah diskresi, tidak menyebabkan kerugian negara, apalagi terkait tipikor tolong jangan dikrimininalisasi.
Salah satu yang menjadi perhatian utama tentu adalah pengadaan barang/jasa pemerintah. Kasus tipikor yang terjadi, sebagian besar dari kasus pengadaan barang/jasa pemerintah. Dan sebagian anggaran yang belum terserap bisa jadi terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Kelihatannya memang perlu adanya pemahaman yang sama terhadap aturan main pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ). Jika bicara aturan main PBJ, tentu Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya adalah yang utama, ditambah dengan peraturan-peraturan di bawahnya seperti Peraturan Kepala LKPP atau Surat Edaran LKPP. Perpres tersebut semestinya juga merujuk pada peraturan yang lebih tinggi seperti PP tentang mekanisme pelaksanaan APBN, dan lebih tinggi lagi tentunya UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No.17/2013 tentang keuangan negara. Selain itu, perlu disinkronkan juga dengan peraturan lain yang terkait, seperti peraturan tentang konstruksi, tentang perpajakan, tentang transaksi elektronik dan hal terkait lainnya termasuk peraturan daerah.
Pengadaan barang/jasa sendiri di istilah swasta biasa disebut procurement. Bicara tentang procurement, tidak lepas dari apa yang disebut dengan manajemen rantai pasokan alias Supply Chain Management. Nah di sini tentu terkait pula dengan disiplin ilmu yang lain, seperti costing, supply-demand dan bahkan terkait juga dengan psikologi pelaku pasar khususnya bagaimana memahami perilaku dari penyedia barang/jasa. Itu jika bicara pengadaan barang/jasa secara umum. Karena pada dasarnya pengadaan barang/jasa itu pada dasarnya bagaimana kita bisa mengadakan barang/jasa yang kebutuhan, serta mengelola dan memanfaatkannya secara efisien dan efektif. Dengan demikian, proscurement sendiri lebih mengarah ke arah manajerial.
Namun jika bicaranya pengadaan di pemerintah, karena yang dipakai adalah uang negara, maka aspek prosedural/peraturan/hukum perlu menjadi perhatian dan bahkan pada kenyataannya menjadi lebih dominan dibanding aspek manajerial. Misalnya tentang kemahalan harga, mark-up, kerugian negara, suap, persekongkolan dan seterusnya. Ini menjadi bumbu menarik dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Terkadang ada kasus pelanggaran terhadap peraturan langsung berurusan dengan penegak hukum. Ini yang barangkali membuat pelaksana Anggaran jadi takut dan Pak Presiden jadi gerah karena gara-gara itu, penyerapan anggaran lambat.
Kebijakan ini cukup bagus untuk mempercepat anggaran dan pada berjalannya program-program yang diusung pemerintah. Namun demikian, jangan sampai kebijakan ini menjadi angin segar bagi para bandit-bandit kelas kakap itu. Dengan kata lain perlu diperjelas mana yang memang diskresi dengan tujuan baik dan diskresi dengan tujuan nyolong. Dalam hal ini, penegak hukum memang harus jeli mana yang benar-benar salah harus dihukum tapi jangan sampai yang tidak bersalah jadi ikut terhukum. Pelaku kriminal khususnya tipikor memang harus dihukum, tetapi jangan sampai yang bukan pelaku kriminal menjadi dikriminalisasi. Salah satu solusinya adalah, peraturan yang dipahami sama oleh masing-masing pihak, dan masing-masing memahami bahwa kita sama-sama membangun negara ini namun dengan cara yang berebda. Yang satu melaksanakan anggaran yang satu mengawasi pelaksanaan anggaran. Dan lupakanlah kepentingan pribadi, atau kepentingan untuk menjatuhkan lawan politik atau yang semisalnya.
Pengadaan barang/jasa sendiri di istilah swasta biasa disebut procurement. Bicara tentang procurement, tidak lepas dari apa yang disebut dengan manajemen rantai pasokan alias Supply Chain Management. Nah di sini tentu terkait pula dengan disiplin ilmu yang lain, seperti costing, supply-demand dan bahkan terkait juga dengan psikologi pelaku pasar khususnya bagaimana memahami perilaku dari penyedia barang/jasa. Itu jika bicara pengadaan barang/jasa secara umum. Karena pada dasarnya pengadaan barang/jasa itu pada dasarnya bagaimana kita bisa mengadakan barang/jasa yang kebutuhan, serta mengelola dan memanfaatkannya secara efisien dan efektif. Dengan demikian, proscurement sendiri lebih mengarah ke arah manajerial.
Namun jika bicaranya pengadaan di pemerintah, karena yang dipakai adalah uang negara, maka aspek prosedural/peraturan/hukum perlu menjadi perhatian dan bahkan pada kenyataannya menjadi lebih dominan dibanding aspek manajerial. Misalnya tentang kemahalan harga, mark-up, kerugian negara, suap, persekongkolan dan seterusnya. Ini menjadi bumbu menarik dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Terkadang ada kasus pelanggaran terhadap peraturan langsung berurusan dengan penegak hukum. Ini yang barangkali membuat pelaksana Anggaran jadi takut dan Pak Presiden jadi gerah karena gara-gara itu, penyerapan anggaran lambat.
Kebijakan ini cukup bagus untuk mempercepat anggaran dan pada berjalannya program-program yang diusung pemerintah. Namun demikian, jangan sampai kebijakan ini menjadi angin segar bagi para bandit-bandit kelas kakap itu. Dengan kata lain perlu diperjelas mana yang memang diskresi dengan tujuan baik dan diskresi dengan tujuan nyolong. Dalam hal ini, penegak hukum memang harus jeli mana yang benar-benar salah harus dihukum tapi jangan sampai yang tidak bersalah jadi ikut terhukum. Pelaku kriminal khususnya tipikor memang harus dihukum, tetapi jangan sampai yang bukan pelaku kriminal menjadi dikriminalisasi. Salah satu solusinya adalah, peraturan yang dipahami sama oleh masing-masing pihak, dan masing-masing memahami bahwa kita sama-sama membangun negara ini namun dengan cara yang berebda. Yang satu melaksanakan anggaran yang satu mengawasi pelaksanaan anggaran. Dan lupakanlah kepentingan pribadi, atau kepentingan untuk menjatuhkan lawan politik atau yang semisalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar